❑Penentuan KKM |

UN Bukan Biangnya (Writting Revo Publishing Yogyakarta ISBN 978-602-18484-7-0)
Dalam Buku Dari Guru Untukmu Negeri
Dalam Buku Dari Guru Untukmu Negeri
Pemerintah berkepentingan meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan
pendidikan suatu negara dapat membangun dirinya dari ketertinggalan. Dengan
pendidikan kehidupan menjadi tertata dan teratur. Salah satu barometer kemajuan
suatu negara dapat dilihat dari mutu pendidikannya. Negara maju, pendidikannya
pasti bermutu. Karena pendidikan yang bermutu melahirkan generasi yang bermutu.
Generasi bermutu melahirkan negara maju. Jadi semua berawal dari pendidikan.

NA = 0,4 NS + 0,6 UN ( NA = nilai akhir, NS = nilai sekolah, UN = nilai
ujian nasional). Syarat lulus NA harus 5,5 atau lebih. Dengan formula seperti
ini konon penilaian menjadi lebih adil. Sekolah dan pemerintah melakukan
penilaian bersama-sama harapannya mutu pendidikan otomatis akan meningkat.
Tetapi praktiknya tidaklah demikian, dengan formula seperti itu bukan
meningkatkan mutu tetapi justru malah menghancurkan mutu. Pemerintah tidak
menyadari kalau formula itu ibarat membuka pintu kecurangan selebar-lebarnya.
Formula inipun gampang sekali dicurangi oleh sekolah, agar siswanya lulus.
Dengan jurus dewa mabuk banyak sekolah yang menyulap NS (nilai sekolah) menjadi
tinggi bahkan sangat tinggi. Jika tidak sungkan gitu semua siswanya diberi
nilai 10 karena memang tidak dilarang memberi nilai 10. Tragis, nilai tinggi
tapi mutu rendah. Kalau kita hitung dengan formula di atas NS = 10 agar NA =
5,5 maka UN = 2,5. Betapa rendahnya, karena lulus hanya butuh nilai UN = 2,5.
Mutu meningkatkah ? Jika kita balik UN = 3 supaya lulus membutuhkan NS = 9,25.
Inilah yang dilakukan oleh sekolah, memberi nilai di atas 9 kepada semua siswa
tidak peduli siswa itu pintar atau kurang pintar. Bahkan yang lebih aneh nilai
tinggi itu targetnya untuk siswa yang kurang pintar karena nilai Ujian Nasional
siswa yang kurang pintar dapat dipastikan jeblog, untuk mengatrol NA D 5,5 diperlukan nilai rapor di atas 9. Apakah masuk
akal semua siswa mempunyai nilai di atas 9. Tahu nilai rapornya bagus siswa
yang kurang pintar tadi semakin malas belajar. Untuk apa belajar wong tidak
pernah belajar saja nilainya di atas 9. Pola pikir seperti ini jelas merupakan
bencana besar. Pola pikir generasi penerus bangsa sudah sesat sejak dini.
Lagi-lagi muncul sindiran 'inginnya meningkatkan tapi yang didapat
keterpurukan'.
Sebenarnya aneh sekali jika untuk mendapatkan nilai 5,5 saja harus
mengerahkan segenap kekuatan termasuk kecurangan. Sebenarnya apa yang dilakukan
sekolah selama ini, selama 3 tahun apa yang sudah dipersiapkan untuk siswanya.
Bukankah ilmu itu bersifat obyektif. Mau diuji oleh sekolah sendiri, diuji oleh
pemerintah kan sama saja. Kalau sekolah berani memberi nilai 9, itu artinya
jika diuji oleh orang lain hasilnya tentu tidak jauh dari kisaran angka 9.
Kalau perbedaannya sangat jauh tentu ada yang salah. Mayoritas orang menuduh
Ujian Nasional sebagai biang keroknya. Lantas berpikir sederhana bahwa masih
lebih baik jika Ujian Nasional tidak digunakan sebagai penentu kelulusan,
supaya tidak terjadi markup nilai gila-gilaan dan moralitas tetap terjaga
karena tidak melulu berpikir melakukan kecurangan. Pendapat sederhana itu kemudian banyak
juga yang mengamini setelah melihat fakta di lapangan bahwa Ujian Nasional juga
berdampak buruk pada perilaku siswa. Perilaku siswa lepas kontrol begitu
selesai menempuh Ujian Nasional. Berakhirnya Ujian Nasional dirayakan dengan
penuh suka cita dan penuh kemenangan. Layaknya kemenangan melawan penjajahan
dan penindasan. Luapan kemenangan diwujudkan dengan corat coret baju, pesta
miras, pawai arak-arakan keliling kota bahkan tawuran. Begitulah fakta yang
muncul ke permukaan. Padahal itu baru selesai ujian belum pengumuman kelulusan.
Belum tahu setelah lulus nanti bagaimanan. Seharusnya mereka sedih jika
memikirkan setelah lulus nanti bagaimana. Masa sekolah adalah masa yang paling
indah. Tetapi mayoritas siswa tidak menikmati masa indah di sekolah. Sekolah
dirasa menindas. Masa sekolah menjadi masa tertindas bukannya masa terindah.
Sehingga begitu keluar dari sekolah sama artinya keluar dan terbebas dari
penindasan. Ketika keluar dari sekolah kelakuan mereka jauh dari nilai-nilai santun,
kelakuan yang ditunjukkan justru liar dan brutal. Dalam hati mereka seperti
memendam dendam kesumat yang harus dilampiaskan dengan membabi buta kepada
siapa saja yang mereka temui. Dalam pikiran mereka semua turut andil dan turut
berdosa atas penindasan yang mereka alami.
Aneh jika Ujian Nasional yang dipersalahkan sebagai penyebab semua
kebrutalan siswa. Ujian Nasional hanyalah sarana untuk mempercepat mencapai
tujuan. Kalau Ujian Nasional diibaratkan jalan, kita naik sepeda di atas jalan
tersebut kemudian jatuh, apakah pantas kita menyalahkan jalan ? Kalau itu yang
terjadi berarti kita tidak pernah bisa menerima kekurangan diri sendiri.
Kekurangan yang ada ditutupi dengan menyalahkan pihak lain. Ini merupakan
bencana dari segala bencana.
10
Besar Lomba Menulis Fanfren 2012
1. Sofyan Adi, Awas
Pencuri Nekad. Bangunan Rumah Anda Hilang dalam Sekejap
2. Zackia
Ahmad, Tak Mampu Bayar SPP, Siswi
MA Bunuh Diri(Satu Lagi Tragedi dan Potret Kelam Pendidikan Kita)
3. Endah CS, "Children Protective" Ala Ustadz
Kota Versus Ustadz Kampung
4. Yayoe, Tren Lajang-Janda, Tren Oedypus Complex,
Akibat Perlakuan Ibu Yang Salah
5 .Dewi Gita Kartika, Mental Anak Bangsa
6. Noey Khazanah, Artis Berdandan Nyeleneh .. Bahagiakah
Mereka?
7. Adeuny,
Pandang Mereka Seperti Manusia Lainnya
8. Nurwahyudi Agustiawan, Refleksi Menuju Dedikasi
9. Sapta Ryadi, Jangan Gampang Tergiur Pemberi Modal Usaha
(Mereka Pencuri)
10.Neng
Atiyah, Apa Yang Telah Kalian Berikan Untuk
Indonesia?
Info Lomba http://eventlombaterbaru.blogspot.com/
BalasHapus