Logo Design by FlamingText.com

Syarat administrasi tidak boleh diremehkan, sebab semuanya berawal dari situ. Saya ingin berbagi perangkat pembelajaran IPA SMP melalui link di bawah ini :
Penentuan KKM
Kelas Heterogen. Semua aspek kehidupan menunjukkan sifat heterogen. Heterogen sesuatu yang alamiah, semua tunduk pada hukum alam. Sifat heterogen ini juga diterapkan dalam menyusun sebuah kelas. Kelas yang alamiah adalah kelas yang heterogen. Kelas yang heterogen dipercaya lebih kondusif dalam kegiatan belajar mengajar. Kelas yang heterogen berisi siswa yang mempunyai kemampuan heterogen. Ada yang berkemampuan relatif rendah, sedang dan tinggi. Diharapkan siswa yang berkemampuan rendah dapat belajar kepada yang sedang, yang sedang belajar kepada yang tinggi, yang berkemampuan tinggi semakin melompat karena dia mengajari. Dengan mengajari orang lain penguasaan ilmu seseorang menjadi meningkat. Barang siapa mengajarkan satu ilmu kepada orang lain, Allah akan memberi ilmu baru kepadanya. Kondisi heterogen kelas menjadi kondusif jika kesenjangan kemampuan siswa tidak terlalu lebar. Jangkauannya jika dibuat skor yaitu 7, 8, 9. Kurang diberi skor = 7, sedang = 8 dan tinggi = 9. Tapi jika kesenjangan kemampuan siswa terlalu lebar misalnya kemampuan siswa rendah,  sedang, tinggi jangkauan skornya 3, 6, 9 ini justru menjadi masalah. Kelas heterogen macam ini tidak lagi kondusif. Yang rendah tidak bisa mengikuti yang sedang, yang sedang tidak bisa mengikuti yang tinggi, yang tinggi tidak sabar harus berjalan jongkok bersama-sama dengan yang rendah sementara mereka mampu  berlari sambil melompat. Kesenjangan kemampuan siswa yang terlalu lebar lebih baik dibuat kelas yang homogen sehingga mudah penanganannya. Walapun homogen tetap saja ada perbedaan tetapi relatif kecil. Meminjam istilah IPA yaitu diklasifikasikan menurut persamaan ciri-ciri yang dimiliki. Klasifikasi bertujuan memudahkan penanganan karena kekurangan kekurangannya mudah terekam dan  seragam. Penanganannya one for all, satu jurus untuk semua siswa, lebih efisien. Jika penguasaan sebuah konsep membutuhkan langkah berulang-ulang dan membutuhkan waktu yang lebih lama, semua siswa bisa menikmatinya bersama-sama dengan enjoy, tidak ada siswa yang merasa dirugikan, tidak ada siswa yang tidak sabar karena harus berjalan jongkok, karena mereka semua bisanya memang berjalan jongkok. Dari sini sifat percaya diri masing-masing menjadi tumbuh dan berkembang. Sudah menjadi sifat manusia yang selalu menjadikan orang lain sebagai ukuran. Merasa enjoy jika melihat orang lain sama dengan dirinya, merasa gerah jika orang lain melebihi dirinya.
UN Bukan Biangnya (Writting Revo Publishing Yogyakarta ISBN 978-602-18484-7-0)
 Dalam Buku Dari Guru Untukmu Negeri
Pemerintah berkepentingan meningkatkan mutu pendidikan. Karena dengan pendidikan suatu negara dapat membangun dirinya dari ketertinggalan. Dengan pendidikan kehidupan menjadi tertata dan teratur. Salah satu barometer kemajuan suatu negara dapat dilihat dari mutu pendidikannya. Negara maju, pendidikannya pasti bermutu. Karena pendidikan yang bermutu melahirkan generasi yang bermutu. Generasi bermutu melahirkan negara maju. Jadi semua berawal dari pendidikan.
Melalui Ujian Nasional (UN) pemerintah berharap dapat dengan cepat meningkatkan mutu pendidikan. Makanya Ujian Nasional dijadikan penentu kelulusan. Terjadi pro dan kontra itu biasa, dinamika yang alamiah membutuhkan pro kontra. Yang pro tentu mengetahui bahwa praktik pendidikan di beberapa sekolah hanya ala kadarnya kalau tidak bisa dibilang 'sak karepe dhewe'. Boleh jadi mayoritas sekolah di tanah air termasuk sekolah kategori ala kadarnya. Yang kontra melihat ketidak adilan karena nasib siswa ditentukan hanya dalam beberapa hari saja, proses belajar selama hampir 3 tahun diabaikan. Wal hasil banyak sekolah melakukan kecurangan, contek menyontek antar siswa malah dianjurkan, tidak hanya itu guru dipaksa ikut bermain dengan memberikan jawaban kepada siswa. Ironi. Maksud hati meningkatkan mutu apa daya malah menghancurkan mutu plus menghancurkan moral. Untuk mengatasi itu semua pemerintah sebenarnya cukup tanggap dengan membuat soal tidak hanya 1 paket, mulanya 2 paket kemudian mulai tahun pelajaran 2010/2011 soal dibuat 5 paket bahkan untuk Ujian Nasional selanjutnya ada wacana dibuat 20 paket. Jika soal Ujian Nasional dibuat 20 paket, itu artinya dalam satu ruang yang berisi 20 siswa masing-masing siswa mengerjakan soal yang berbeda. Contek menyontek tidak akan pernah terjadi. Walaupun begitu yang kontra tetap tidak puas. Karena desakan dari yang kontra begitu kuat bahkan sampai memenangkan gugatan di pengadilan, akhirnya pemerintah mengambil kebijakan baru, yaitu kelulusan tidak mutlak ditentukan oleh Ujian Nasional saja sekolah juga diikutsertakan menentukan kelulusan siswanya. Syarat kelulusan diformulakan :
NA = 0,4 NS + 0,6 UN ( NA = nilai akhir, NS = nilai sekolah, UN = nilai ujian nasional). Syarat lulus NA harus 5,5 atau lebih. Dengan formula seperti ini konon penilaian menjadi lebih adil. Sekolah dan pemerintah melakukan penilaian bersama-sama harapannya mutu pendidikan otomatis akan meningkat. Tetapi praktiknya tidaklah demikian, dengan formula seperti itu bukan meningkatkan mutu tetapi justru malah menghancurkan mutu. Pemerintah tidak menyadari kalau formula itu ibarat membuka pintu kecurangan selebar-lebarnya. Formula inipun gampang sekali dicurangi oleh sekolah, agar siswanya lulus. Dengan jurus dewa mabuk banyak sekolah yang menyulap NS (nilai sekolah) menjadi tinggi bahkan sangat tinggi. Jika tidak sungkan gitu semua siswanya diberi nilai 10 karena memang tidak dilarang memberi nilai 10. Tragis, nilai tinggi tapi mutu rendah. Kalau kita hitung dengan formula di atas NS = 10 agar NA = 5,5 maka UN = 2,5. Betapa rendahnya, karena lulus hanya butuh nilai UN = 2,5. Mutu meningkatkah ? Jika kita balik UN = 3 supaya lulus membutuhkan NS = 9,25. Inilah yang dilakukan oleh sekolah, memberi nilai di atas 9 kepada semua siswa tidak peduli siswa itu pintar atau kurang pintar. Bahkan yang lebih aneh nilai tinggi itu targetnya untuk siswa yang kurang pintar karena nilai Ujian Nasional siswa yang kurang pintar dapat dipastikan jeblog, untuk mengatrol NA D 5,5 diperlukan nilai rapor di atas 9. Apakah masuk akal semua siswa mempunyai nilai di atas 9. Tahu nilai rapornya bagus siswa yang kurang pintar tadi semakin malas belajar. Untuk apa belajar wong tidak pernah belajar saja nilainya di atas 9. Pola pikir seperti ini jelas merupakan bencana besar. Pola pikir generasi penerus bangsa sudah sesat sejak dini. Lagi-lagi muncul sindiran 'inginnya meningkatkan tapi yang didapat keterpurukan'.
Sebenarnya aneh sekali jika untuk mendapatkan nilai 5,5 saja harus mengerahkan segenap kekuatan termasuk kecurangan. Sebenarnya apa yang dilakukan sekolah selama ini, selama 3 tahun apa yang sudah dipersiapkan untuk siswanya. Bukankah ilmu itu bersifat obyektif. Mau diuji oleh sekolah sendiri, diuji oleh pemerintah kan sama saja. Kalau sekolah berani memberi nilai 9, itu artinya jika diuji oleh orang lain hasilnya tentu tidak jauh dari kisaran angka 9. Kalau perbedaannya sangat jauh tentu ada yang salah. Mayoritas orang menuduh Ujian Nasional sebagai biang keroknya. Lantas berpikir sederhana bahwa masih lebih baik jika Ujian Nasional tidak digunakan sebagai penentu kelulusan, supaya tidak terjadi markup nilai gila-gilaan dan moralitas tetap terjaga karena tidak melulu berpikir melakukan kecurangan. Pendapat sederhana itu kemudian banyak juga yang mengamini setelah melihat fakta di lapangan bahwa Ujian Nasional juga berdampak buruk pada perilaku siswa. Perilaku siswa lepas kontrol begitu selesai menempuh Ujian Nasional. Berakhirnya Ujian Nasional dirayakan dengan penuh suka cita dan penuh kemenangan. Layaknya kemenangan melawan penjajahan dan penindasan. Luapan kemenangan diwujudkan dengan corat coret baju, pesta miras, pawai arak-arakan keliling kota bahkan tawuran. Begitulah fakta yang muncul ke permukaan. Padahal itu baru selesai ujian belum pengumuman kelulusan. Belum tahu setelah lulus nanti bagaimanan. Seharusnya mereka sedih jika memikirkan setelah lulus nanti bagaimana. Masa sekolah adalah masa yang paling indah. Tetapi mayoritas siswa tidak menikmati masa indah di sekolah. Sekolah dirasa menindas. Masa sekolah menjadi masa tertindas bukannya masa terindah. Sehingga begitu keluar dari sekolah sama artinya keluar dan terbebas dari penindasan. Ketika keluar dari sekolah kelakuan mereka jauh dari nilai-nilai santun, kelakuan yang ditunjukkan justru liar dan brutal. Dalam hati mereka seperti memendam dendam kesumat yang harus dilampiaskan dengan membabi buta kepada siapa saja yang mereka temui. Dalam pikiran mereka semua turut andil dan turut berdosa atas penindasan yang mereka alami.
Aneh jika Ujian Nasional yang dipersalahkan sebagai penyebab semua kebrutalan siswa. Ujian Nasional hanyalah sarana untuk mempercepat mencapai tujuan. Kalau Ujian Nasional diibaratkan jalan, kita naik sepeda di atas jalan tersebut kemudian jatuh, apakah pantas kita menyalahkan jalan ? Kalau itu yang terjadi berarti kita tidak pernah bisa menerima kekurangan diri sendiri. Kekurangan yang ada ditutupi dengan menyalahkan pihak lain. Ini merupakan bencana dari segala bencana.
10 Besar Lomba Menulis Fanfren 2012
1. Sofyan Adi,  Awas Pencuri Nekad. Bangunan Rumah Anda Hilang dalam Sekejap
2. Zackia Ahmad,  Tak Mampu Bayar SPP, Siswi MA Bunuh Diri(Satu Lagi Tragedi dan Potret Kelam Pendidikan Kita)
3. Endah CS, "Children Protective" Ala Ustadz Kota Versus Ustadz Kampung
4. Yayoe, Tren Lajang-Janda, Tren Oedypus Complex, Akibat Perlakuan Ibu Yang Salah
5 .Dewi Gita Kartika,  Mental Anak Bangsa
6. Noey Khazanah, Artis Berdandan Nyeleneh .. Bahagiakah Mereka?
7. Adeuny, Pandang Mereka Seperti Manusia Lainnya
8. Nurwahyudi Agustiawan, Refleksi Menuju Dedikasi
9. Sapta Ryadi, Jangan Gampang Tergiur Pemberi Modal Usaha (Mereka Pencuri)
10.Neng Atiyah,  Apa Yang Telah Kalian Berikan Untuk Indonesia?

1 komentar: