Hak Jawab Dalam Dunia Maya

Kasus Prita dan Deny adalah contoh kasus yang berpangkal dari kegalauan hati kemudian berujung pada ranah hukum. Ungkapan hati yang dituang dalam dunia maya memang dengan mudah dapat diketahui orang. Pujian, kekecewaan maupun kritikan dengan mudah diunggah dan dibaca oleh siapa saja. Karena dunia maya memang milik semua orang. Siapa saja bebas menuangkan ungkapan. Ungkapan yang menyenangkan maupun yang menyakitkan perlu disikapi dengan kedewasaan. Rasanya tidak perlu bersikap tersinggung berlebihan dalam menanggapi ungkapan yang bernada kritikan maupun kegalauan. Dunia maya memerlukan sentuhan tangan dingin supaya tumbuh sehat, kaya kreativitas sehingga bermanfaat. Jika setiap kritikan diterjemahkan sebagai pencemaran nama baik, itu artinya sikap kurang dewasa yang mengancam dunia maya kiamat. Dengan demikian dunia maya bukan lagi sebagai dunia bebas merdeka tetapi menjadi dunia yang terhegemoni oleh kungkungan hukum. Bagaimanapun adilnya sebuah hukum, tetap saja membuahkan dua hal yang tidak mungkin disatukan, yaitu kekalahan dan kemenangan. Setiap orang merasa terkungkung krativitasnya oleh kegarangan hukum yang setiap saat akan menerkam. Untuk itu jika ungkapan dalam dunia maya merugikan seseorang, perlu ada aturan main dalam memberikan sanggahan. Tidak perlu terburu-buru lari ke ranah hukum. Aturan mainnya bisa mengadopsi dari dunia jurnalistik yaitu adanya ‘hak jawab.’ Kalau setiap orang mematuhi aturan main tersebut, alangkah indahnya dunia maya kita. Sebagai ajang polemik untuk mengasah ketajaman dan keakuratan beropini. Dunia maya tentu akan tumbuh menjadi dunia yang penuh tanggung jawab dan penuh kedewasaan bersikap, niscaya akan berkontribusi pada dunia nyata.
Memperpanjang Puasa
Puasa secara lahiriah dilakukan dengan cara menahan diri untuk tidak makan minum dari subuh hingga maghrib. Dampak puasa lahiriah ini berimbas pada batiniah kita. Kondisi lahiriah yang lapar berpengaruh membentuk batiniah yang sabar, suka menolong, rela berkorban serta jauh dari angkara murka. Rasa lapar yang awalnya terasa berat tetapi lama-lama terasa nikmat. Rasa lapar lahiriah menjadi biasa bukan lagi sebagai penderitaan apalagi halangan beraktivitas. Lapar lahiriah menjadikan tubuh terasa lebih sehat. Dalam waktu 1 bulan itu lahiriah kita membentuk kebiasaan baru yang tidak seperti biasanya. Bahkan kebiasaan itu menjelma menjadi sebuah kebutuhan. Walaupun bulan Romadlon sudah berakhir pun kabiasaan lahiriah kita masih terbawa. Makan pagi menjadi sesuatu yang agak ‘asing’. Bagi mereka yang merasakan badannya lebih sehat dengan berpuasa, menjadikan puasa sebagai kebutuhan.
Begitu juga batiniah kita membentuk kebiasaan sabar, suka menolong, rela berkorban serta jauh dari angkara murka. Awalnya terasa berat tetapi lama-lama terasa nikmat. Puasa lahiriah boleh berhenti dengan berakhirnya bulan Romadlon tetapi puasa batiniah perlu diperpanjang. Sehingga kebiasaan sabar, suka menolong, rela berkorban serta jauh dari angkara murka terus menghiasi kehidupan kita karena itu semua sudah menjadi kebiasaan bahkan kebutuhan.
UKG Bergurulah Pada UN
Pesta tahunan sekolah yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN) adalah contoh ideal dari sisi instrumen soal. Siapapun yang membaca instrumen soal UN pasti mengacungkan jempol menyangkut persiapan, pengetikan maupun kaidah penyusunan soal. Soal UN tidak satupun terdapat kesalahan pengetikan, jelas bahwa soal UN sudah melalui editing yang handal. Opsi jawaban angka diurutkan dari besar-kecil atau dari kecil-besar. Kalimatnya baku kecil peluang untuk salah tafsir. Gambar, grafik, skema tercetak jelas dan bermakna. Soal UN mampu membedakan siswa yang paham dan siswa yang tidak paham. UN yang notebene untuk konsumsi siswa dapat dibuat sedemikian ideal tentunya soal UKG harus lebih dari itu . Logikanya soal UKG (Uji Kompetensi Guru) yang notabene untuk konsumsi guru harus mempunyai kelebihan dalam hal persiapan, editing maupun kaidah penyusunan soal. Tetapi faktanya tidak demikian. Soal UKG Online yang mulai digelar bulan Juli ini jauh dari ideal. Terdapat banyak kesalahan ketik, opsi jawaban angka tidak diurutkan. Kalimatnya tidak efektif, grafik tidak jelas bahkan tidak tercetak, beberapa opsi jawaban kosong. Siapapun yang membaca soal UKG akan berpendapat bahwa soal UKG disusun dengan tergesa-gesa, tanpa melalui editing, tidak patuh pada kaidah penyusunan soal dan belum pernah diuji coba untuk mengetahui kehandalan daya bedanya. Soal yang belum terbukti handal tidak selayaknya digunakan untuk pengambilan data. Jadi jika data yang didapat dari UKG digunakan untuk memetakan guru, peta yang didapat adalah peta yang salah. Jika peta yang salah digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan, kebijakan yang diambil tentu kebijakan yang salah. Kebijakan yang salah jika digunakan untuk mengatasi masalah, malah akan timbul masalah. Masalah itu tentu akan berdampak pada guru. Hasil UKG yang rendah tidak seperti harapan karena ketidak siapan pemerintah berbuah pada penghinaan terhadap profesi pendidik. Ini yang harus dihindari jangan sampai para guru mendapat perlakuan yang tidak sepatutnya karena memang bukan kesalahannya. UKG bergurulah pada UN.
Hanya Berita
Jangan menyepelekan walau itu hanya berita. Boleh jadi semua berawal dari berita. Kejadian baik berawal dari berita baik, karena berita baik sama dengan harapan tentang kebaikan, harapan tentang kebaikan pada hakekatnya adalah doa. Kejadian baik menimbulkan berita baik. Berita baiklah yang membuat kita tetap bertahan untuk tetap berbuat baik, berpikiran baik, berperangai baik. Karena berpikiran baik, berperangai baik itu baik buat kesehatan dan baik pula buat orang lain. Karena berita baiklah banyak orang mau meninggalkan kampung halamannya, merantau ke negeri orang. Karena berita baiklah orang mau mengorbankan apa saja yang dimiliki. Demikian pula sebaliknya berita buruk bisa menimbulkan peristiwa buruk. Peristiwa buruk tentunya juga menimbulkan berita buruk. Keburukan selalu berbuah keburukan. Apalagi berita buruk yang berasal dari perangai buruk tokoh-tokoh kita. Sebentar, saya kok kurang sreg ketika mereka yang berperangai buruk disebut tokoh. Bukankah tokoh itu orang yang mempunyai kelebihan dalam hal kebaikan. Tutur katanya baik, perangainya baik, moralnya baik, agamanya baik. Pokoknya yang dimiliki semuanya baik. Sehingga dia patut ditokohkan, ditiru, diidolakan dan ditauladani. Jika dia yang ditokohkan kemudian ternyata berperangai buruk otomatis predikat tokoh harus ditanggalkan. Orang yang berperangai buruk bukan lagi tokoh. Jadi anggota DPR, bupati, ketua partai, hakim, jaksa, polisi dan pejabat pemerintah yang terjerat skandal seks, korupsi, pengguna atau pengedar narkoba bukan lagi menjadi tokoh. Karena gara-gara dia yang berperangai buruk itu muncul berita buruk, berita buruk pada gilirannya memunculkan peristiwa buruk. Siapa saja yang mendengar berita buruk kena imbas keburukannya, sekurang-kurangnya punya hoby baru yaitu ngrumpi, ngrasani dia yang berperangai buruk tadi.
Kabar buruklah yang mengakibatkan pendita Durna gugur di palagan tegal kuru setra dalam perang barata yuda. Pandita Durna jatuh tersungkur tak berdaya begitu mendengar kabar bohong tentang tewasnya putra tercinta Bambang Aswatama. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Drustajumena sang senopati Ngastina secepat kilat mengayunkan pedangnya ke arah leher sang pandita yang sudah tak berdaya. Pandita sepuh itu gugur dengan kepala terpisah dari badan wadagnya. Jangan menyepelekan berita.
Jungkir Balik Jaman
Tahun 1980 an profesi guru merupakan sebuah profesi yang ‘disiriki’. Tidak seorangpun mengidolakannya, terlebih siswa SMA. Mereka seakan mencibir jika disarankan kuliah di IKIP. Di benak mereka sosok guru tidak bisa dipisahkan dari sosok Umar Bakri karya Iwan Fals yang melegenda. Sosok sederhana dengan tas hitam dari kulit buaya dan sepeda kumbang. Jika ada siswa SMA yang masuk IKIP, itu karena mereka tidak diterima di tempat lain. Pilihan di IKIP adalah pilihan terakhir. Karena merupakan pilihan terakhir berarti sebuah pilihan orang yang kalah bersaing. Kalah bersaing dalam memperebutkan kursi di fakultas favorit. Karena kalah bersaing itu artinya kemampuan mereka di bawah kemampuan rata-rata. Walaupun ada juga mahasiswa IKIP yang berkemampuan tinggi. Tetapi itu jarang sekali. Jika ada mahasiswa IKIP yang pinter bisa ditebak dia berasal dari keluarga sederhana yang tidak berpikir ‘muluk-muluk’. Yang penting lulus kuliah cepat dapat pekerjaan walaupun sebagai Guru Tidak Tetap (GTT). Tentu dengan imbalan yang jauh dari mencukupi. Imbalan sebagai GTT hanya cukup untuk beli sabun. Walaupun demikian orang tua sudah bangga karena anaknya tidak nganggur. Jadi GTT dulu tidak mengapa, lama-lama juga diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Walaupun gaji PNS saat itu juga terbilang kecil. Biar gaji kecil tetapi hati tenteram katanya. PNS ibarat karet. Dicokot alat diolor molor, begitu kata mereka menghibur diri. Kehidupan PNS kala itu tergolong pas-pasan. Harus pinter-pinter mengatur pendapatan. Ingin beli sepeda motor misalnya, harus ‘diplanning’ masak-masak karena tidak bisa dibayar tunai. Karena gaji tidak mencukupi. Jalan keluarnya harus dibayar secara kredit. Tiap bulan potong gaji. Gaji yang kecil masih dipotong angsuran. Jadinya semakin ngepres bukan lagi pas-pasan. Sosok Umar Bakri ciptaan Iwan Fals sungguh cocok dalam melukiskan guru kala itu.
Dengan berlalunya waktu berubah pula kesadaran para pejabat pengambil kebijakan. Sedikit demi sedikit mereka menyadari bahwa untuk membangun bangsa, harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan merupakan fondasi pembangunan. Dengan pendidikan bermutu sebuah bangsa akan tumbuh menjadi bangsa besar dan terhormat. Dengan pendidikan sebuah bangsa dapat menginginkan apa saja. Singkatnya dengan pendidikan dapat menggenggam dunia. Pendidikan bermutu tidak dapat dilepaskan dari peran guru. Guru yang bermutu akan menghasilkan pendidikan bermutu. Guru bermutu harus ditunjang dengan penghasilan yang memadai. Sehingga dalam menjalankan tugasnya guru tidak dihantui oleh kekhawatiran kebutuhan hidup sehari-hari yang belum tercukupi. Singkatnya jika menginginkan pendidikan bermutu, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah mensejahterakan guru. Walhasil dibuatlah undang-uandang untuk memayungi secara hukum keberadaan guru. Implikasinya setiap guru harus tersertifikasi. Guru yang sudah tersertifikasi berhak mendapat tunjangan profesi pendidikan sebesar satu kali gaji pokok. Penghasilan guru yang tersertifikasi otomatis bertambah. Dengan bertambahnya penghasilan diharapkan guru dapat meningkatkan kinerja. Guru bisa lebih fokus dalam menjalankan tugasnya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sosok Umar Bakri pasca sertifikasi dengan cepat berubah penampilan. Sepeda kumbang berubah menjadi sepeda motor bahkan mobil. Profesi guru menjadi profesi yang cukup membanggakan.
Namun belum sempat mewujudkan harapan di pundak, sudah diganggu dengan perasaan sirik dari PNS di luar guru yang tidak mendapatkan tunjangan memadai. Mereka tidak setuju jika guru mendapat tunjangan profesi. Karena mereka belum tahu kalau jam kerja guru sebenarnya unlimited alias tidak terbatas. Di sekolah dari pagi hingga siang jelas bekerja tanpa menganggur. Di rumah mempersiapkan materi pembelajaran untuk esok paginya, juga memeriksa hasil pekerjaan siswa untuk penilaian. Itu semua dikerjakan di rumah dengan fasilitas pribadi tanpa meminta uang lembur.
Perasaan sirik sedikit banyak juga direspon oleh pembuat kebijakan. Volume tugas guru pasca sertifikasi ditambah. Mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu. Wajib menyusun bukti fisik monitoring. Wajib menyusun bukti fisik penilaian kinerja berkelanjutan. Tambahan tugas itu lebih bersifat administrasi yang di luar kewajaran. Administrasi guru menjadi sebanyak buku perpustakaan. Padahal itu semua tidak berkaitan langsung dengan langkah-langkah peningkatan mutu pendidikan. Bahkan boleh dibilang kontra produktif. Jika hal ini tidak segera disikapi dengan bijak justru akan berdampak buruk pada siswa. Karena guru yang lengkap secara administrasi bukan jaminan sebagai guru yang baik. Untuk melengkapi tuntutan administrasi yang di luar kewajaran itu guru bisa melupakan tugas utamanya di dalam kelas. Toh yang dinilai kelengkapan administrasinya bukan kepiawaiannya mengajar siswa di dalam kelas. Jika guru sudah kelelahan dalam mempersiapkan kelengkapan administrasi, tidak salah jika mereka berpendapat seperti itu. Ini sangat berbahaya. Niat utama untuk peningkatan mutu pendidikan bisa terjungkir balik. Bukan mutu meningkat tetapi malah merosot.
Jika dibandingkan dengan PNS di jajaran Kementrian Keuangan yang mendapat remunerasi serta TNI Polri yang juga mendapat remunerasi keadaan ini begitu timpang. Mereka yang mendapat remunerasi tidak dituntut macam-macam. Tetapi tuntutan kepada guru sertifikasi sungguh di luar kewajaran yang justru melupakan tugas utamanya. Jangan salahkan guru jika mutu pendidikan tidak kunjung meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar