BBI Sebuah Tradisi Latah

Bimbingan Belajar Intensif (BBI) adalah langkah paling ‘lumrah’ yang dilakukan sekolah dalam menghadapi Ujian Nasional. Semua sekolah mengadakan BBI jauh hari sebelum Ujian Nasional digelar. Semua sekolah menganggap bahwa BBI merupakan tradisi warisan leluhur yang  wajib ‘diuri-uri’ jika ingin sukses Ujian Nasional. Tidak ada sekolah yang berani meninggalkan BBI karena takut ‘kuwalat’. Takut dikatakan murtad. Takut dikatakan sekolah yang tidak proaktif. Takut dikatakan sekolah yang kurang ‘tenanan’ dalam membekali siswanya. BBI dilaksanakan sesudah jam sekolah regular berakhir. Jadi semacam kerja lembur. Ini agak ironi mengapa harus kerja lembur ? Jika kenyataannya jam reguler yang disediakan belum dimanfaatkan secara optimal. Waktu reguler digunakan hanya ala kadarnya, kadang siswa tidak diajar hanya diberi tugas. Mengapa harus ada jam tambahan ? Jam tambahan diperlukan jika jam reguler tidak mencukupi. Selama jam reguler masih memadai, permintaan jam tambahan menjadi tidak relevan. Bahkan terkesan mengada-ada. Apalagi sekolah saat ini merupakan tempat yang membosankan bagi sebagian besar siswa. Indikatornya sederhana, anak-anak gembira jika gurunya tidak datang. Itu karena pola pendidikan kita masih memberatkan anak. Ini statemen  yang dikeluarkan oleh Musliar Kasim Wamendikbud Bidang Pendidikan. Jam reguler saja sudah sedemikian membosankan. Apa lagi jika harus mengikuti BBI. Banyak siswa semakin tertekan bisa-bisa malah menjadi stres. Sebab siswa harus melaksanakan sesuatu dengan terpaksa. Keterpaksaan yang terus menerus dan berkepanjangan berakibat stres. Anggapan yang keliru tentang BBI selama ini sudah saatnya ditinjau ulang. Anggapan bahwa semakin panjang waktu belajar di sekolah semakin baik hasilnya perlu ditinjau ulang. Anggapan ini hanya berdasarkan intuisi belaka belum terbukti secara empiris. Bahkan tidak relevan jika merujuk pada statemen Wamendikbud di atas. Yang perlu dilakukan saat ini adalah efisiensi waktu tatap muka di kelas dan efisiensi pengelolaan bahan pembelajaran. Waktu tatap muka reguler jika digunakan sebaik-baiknya tentu sudah sangat memadai untuk menyelesaikan target kurikulum, bahkan masih ada sisa. Sisa waktu inilah yang digunakan untuk ‘menembak sasaran’ Ujian Nasional. Tentu dengan proses pembelajaran sebelumnya yang efisien, menembak sasaran bukan hal yang sulit dilakukan. Dalam sisa waktu dipergunakan untuk memperbanyak latihan-latihan soal sudah sangat memadai dalam membekali siswa. Pengelolaan bahan pembelajaran dalam kemasan proses yang menyenangkan akan menghapus kebosanan siswa. Di sini guru ditantang  bagaimana cara mengubah rasa bosan menjadi kecanduan. Bagaimana caranya agar siswa kerasan di sekolah. Bagaimana caranya agar siswa menyesal karena jam pelajaran harus berakhir. Efisiensilah jawabannya. Efisiensilah yang perlu dilakukan bukan tergesa-gesa latah mengadakan BBI yang sudah mentradisi. Dengan efisiensi dapat menghemat waktu, tenaga, pikiran dan dana luar biasa.
 Tiga Hal Yang Susah Saya Pahami
Tiga hal yang susah saya pahami. Pertama biaya di sekolah negeri begitu besar padahal semua fasilitas sudah dicukupi oleh pemerintah. Gedung tinggal pakai, dosen/guru dan pegawai lainnya sudah digaji pemerintah. Biaya operasional dan perawatan sudah diberi. Untuk apa pemerintah mengeluarkan biaya ?
Kedua harga minyak begitu tinggi padahal kita penghasil minyak. Jika harga minyak dunia naik tentu keuntungan yang didapat lebih banyak. Kenapa justru malah repot jika harga minyak dunia naik ? Sebagai perbandingan harga bensin di Venezuela kalau dirupiahkan hanya Rp 1200. Harga bensin di negara-negar Arab berkisar Rp 1500
Ketiga biaya operasi di rumah sakit pemerintah begitu besar padahal semua fasilitas sudah dicukupi pemerintah. Gedung tinggal pakai, peralatan sudah disediakan. Dokter, perawat dan pegawai lainnya sudah digaji pemerintah. Biaya obat, makan dan menginap memang harus ditanggung pasien. Tetapi masak hitungannya sebesar itu ? Untuk apa pemerintah mengeluarkan biaya ?
Bercermin Demi Anak Bangsa
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja guru. Perbaikan kinerja ditempuh dengan perbaikan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). KBM yang perlu perbaikan adalah KBM yang sebelumnya sudah dirancang dan diimplementasikan dengan optimal. Jadi dari sisi guru ‘dianggap’ sudah sempurna tanpa cacat. Singkatnya dari keempat kompetensi guru (paedagogik, sosial, kepribadian, profesional) semua dikuasai tanpa cela. Satu-satunya sumber masalah ‘dianggap’ berasal dari siswa. Kurang berhasilnya KBM bisa saja karena siswa kurang antusias karena model pembelajaran yang digunakan guru kurang menggugah semangat siswa. Atau model pembelajaran yang digunakan kurang sesuai dengan karakter materi pembelajaran. Dari sini guru punya alasan untuk segera merencanakan tindakan ‘penyelamatan’ KBM berikutnya. Guru yang sudah melaksanakan tugas dengan sempurna tanpa cela inilah yang patut dan pantas melakukan penelitian. Harus diakui sejujurnya tidak semua guru berpredikat seperti itu. Sebagian besar guru malah sibuk dengan masalahnya sendiri. Masalah kedisiplinan yang memprihatinkan. Masalah dedikasi yang belum memadai. Masalah kompetensi apalagi. Jika guru yang bermasalah ini melakukan penelitian, hasil penelitiannya tentu bias tak bermakna. Tidak satupun data yang direkam punya arti. Sebab didapat dari manipulasi. Untuk itu marilah kita banyak-banyak bercermin di mana posisi kita. Agar semua langkah berguna bagi anak bangsa. Apakah kita sudah berada pada kategori patut dan pantas ? Jika sudah, ucapan selamat melakukan penelitian  layak disandang. Jika sumber masalah sebenarnya berasal dari diri kita, itu artinya kita termasuk guru yang belum patut dan pantas melakukan penelitian. Jika faktanya seperti itu yang patut dan pantas kita lakukan adalah ‘berpuasa’ dengan menunda penelitian. Yang patut dan pantas kita lakukan justru memperbaiki diri. Meningkatkan kompetensi. Memfasilitasi diri. Jangan sampai menuduh orang lain sebagai sumber ketidak berhasilan. Jika kita tetap sibuk mencari biangnya berarti seperti peribahasa kuman di seberang lautan tampak sementara gajah dipelupuk mata tak tapak. Kambing hitam jadi sasarannya. Cermin dibelah karena buruk muka. Dan terus saja tetap bergeming. Terus memaksa melakukan penelitian dengan membabi buta. Pada hal tindakan yang membabi buta justru seperti menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Memperlihatkan aib sendiri. Penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan yang salah. Kesimpulan yang salah bukan menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah. Sebuah penelitian mubadir yang mengorbankan anak bangsa.
Evaluasi Diri
Untuk kondisi saat ini rasanya perlu saya melakukan evaluasi diri. Ada tiga jenis evaluasi seperti yang sudah kita maklumi. Evaluasi sungguh-sungguh, evaluasi setengah hati dan evaluasi basa-basi. Termasuk jenis yang manakah evaluasi yang saya lakukan ? Tentu masing-masing punya argumen dalam mengapresiasi. Yang jelas evaluasi sangat diperlukan untuk menentukan langkah selanjutnya.
Selama ini yang kita dengar, kita lihat, kita rasakan dan kita alami mengajari kita bahkan memaksa kita untuk tidak mempercayai orang-orang yang seharusnya sangat kita percaya dan sangat kita hormati. Dalam setiap kesempatan tak henti-hentinya kita diajak bersyukur tetapi kenyataan yang kita lihat justru tindakan beliau jauh dari rasa syukur. Mengatakan bahwa jabatan yang diemban adalah amanah tetapi perbuatan beliau justru alu amah. Mangajak menghalalkan gaji justru perbuatan beliau menghalalkan segala cara. Durhaka kepada ibu pertiwi. Ironi. Yang paling kasat mata adalah kesukaan mereka dalam melanggar aturan dan merekayasa kebijakan supaya terkesan tidak ada pelanggaran. Semua demi kepentingan sendiri maupun golongan. Sehingga keadaan makin runyam. Kita pun ikut terbelalak menyaksikannya. Kita yang ingin lebih proaktif dari hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas rutin menjadi bertanya-tanya : Lho kok beliau begitu ? Akhirnya niat mulia itu hanya tertahan dalam dada tanpa realisasi.
Ada baiknya kita mengingat kembali kisah orang-orang ‘sakti’ yang menurut pandangan kita tidak akan ada yang sanggup ‘mengalahkan’. Tetapi apa yang terjadi ketika waktu tangguh yang diberikan Allah sudah berakhir ? Mata mereka baru terbelalak. Allah tidak lalai atas orang-orang dholim seperti yang kita prasangkakan selama ini. Tentu ini juga berlaku untuk semuanya, jika sudah sampai giliran tidak ada kekuatan manapun yang mampu membendung. Bahasanya orang awam : ketika kita bisa nyambung dengan keadilan Allah mereka satu persatu jatuh terjerembab dengan berbagai macam sebab. Bukannya sebab yang kebetulan atau delalah, tetapi sebab yang sudah terencana oleh yang Maha Merencanakan. Sapa sing nandur bakal ngundhuh. Nandur kabecikan bakal ngundhuh wohing kabecikan. Nandur kaculikan bakal ngundhuh wohing kaculikan. Siapa yang menanam akan memanen. Menanam kebaikan akan memanen buah kebaikan. Menanam kemungkaran akan memanen buah kemungkaran.
Kita sering menanggapi keadaan centang prenang ini dengan melakukan diskusi kecil. Dalam diskusi muncul pertanyaan, dari mana memulai mengurai benang kusut ini. Kita sepakat menjawab : kita mulai perbaikan dari diri kita sendiri.
Tetapi ketika waktu sudah berjalan sekian lama muncul pertanyaan menagih janji dan bukti. Sudahkah kita mulai perbaikan itu ? Jawabnya belum. Jangankan bukti, indikasi kearah sana saja belum juga nampak. Ternyata kita tidak punya cukup kekuatan, tidak punya cukup rasa malu dan tidak punya cukup tanggung jawab untuk sedikit konsisten antara ucapan dan tindakan. Seharusnya kita tidak perlu toleh kanan kiri melihat apakah orang lain sudah melakukannya. Bukankah kita sudah sepakat dan sudah berikrar bahwa perbaikan dimulai dari diri kita sendiri.
Barangkali saya perlu menyitir nasihat bijak dari  Bob Sadino agar kita punya nyali untuk memulai : Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lobang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi, maju dan berjalan terus mengatasi masalah.
Inilah yang saya maksud evaluasi diri. Evaluasi diri seorang manusia biasa yang mencoba bangun dan menyelaraskan antara ucapan dan tindakan. Ternyata untuk menjadi manusia seperti ini bukannya tanpa resiko, bahkan bisa dikatakan beresiko tinggi. Harus siap tidak jadi apa-apa, harus siap dionceki dari sana sini. Bagi saya itu justru sebuah berkah bukan musibah. Dengan dionceki dari berbagai penjuru justru saya akan menjadi pemenang karena terjaga dari kemungkaran. Karena sadar semua gerik-gerik saya selalu dimata-matai. Ini sebuah motivasi dahsyat bagi saya untuk terus menapaki jalan sirotol mustakim. Sehingga tidak ada celah untuk menjatuhkan saya.
Selain siap dionceki juga harus siap dijauhi teman yang silau kekuasaan. Teman akrab yang sekarang pejabat menjadi takut jika ketahuan kenal dengan saya. Setiap ada kesempatan menghindar, mereka pilih menghindar daripada harus bertemu muka dan berjabat tangan dengan saya. Baru ketika tak ada kesempatan menghindar mereka terpaksa berjabat tangan dan tersenyum dengan basa-basi kemudian bergegas pergi. Saya balas perlakuan itu dengan bacaan ta’awudz, mohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar