Masa Bodoh. Sebelum benar-benar memasuki
daerah masa bodoh saya masih mencoba melakukan perlawanan. Dengan idealisme
yang tetap membara saya coba tetap bertahan sekalipun hanya sendirian tetapi
itu bukan berarti kesia-siaan. Sekalipun hanya bisa melawan dengan usulan itu
tetap akan saya lakukan, semua demi kebaikan. Semua tahu dan paham itu, tetapi
semua pilih membisu. Begitu mudahnya mereka berdamai dengan nurani yang
memberontak. Begitu mudahnya nurani yang meronta disogok dengan keremehan.
Nurani yang membara begitu mudahnya dipadamkan dengan tipuan maya. Dalam
perasaan kesepian yang menghadang, menyerang dari berbagai jurusan saya tantang
sendirian, tak takut sedikitpun tak akan mundur sejengkalpun. Ini milik saya,
jika ingin merampas langkahi dulu mayat saya.
Saya tahu dengan
berlalunya waktu kekompakan antar teman dan keberpihakan kepada kebenaran
sedikit demi sedikit luntur hanya karena ketidak warasan nurani. Hanya karena
ingin dipakai, ingin dekat dengan kekuasaan merelakan membantai nurani dengan membabi
buta.
Walaupun usul saya
nanti hanya masuk telinga kanan kemudian keluar melalui telinga kiri itu tidak
masalah itu bukan sebuah kekalahan. Kekalahan sejati jika saya sudah
betul-betul memasuki daerah masa bodoh. Ini yang sebenarnya tidak saya harapkan
tetapi dengan keterbatasan yang saya miliki diam-diam inilah yang terpaksa saya
harapkan. Dengan begitu dapat mempercepat saya memasuki daerah masa bodoh.
Daerah yang sebenarnya tidak pernah saya bayangkan bahkan daerah yang sangat
saya benci. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan dan diharapkan bukan berarti
tidak pernah akan dialami. Contohnya diri saya sendiri. Daerah masa bodoh
terpaksa akan saya masuki karena keadaan tidak kunjung membaik. Tidak kunjung
membaiknya keadaan bukan karena ketidak mampuan tetapi karena kesengajaan.
Kesengajaan para pengambil kebijakan untuk kepentingan diri sendiri. Arti
kebijakan menjadi bergeser kekiri. Kebijakan bukan melahirkan sesuatu yang
bijak tetapi pelegalan ketidak jujuran. Bahkan mereka tidak sendirian seperti
saya. Mereka berkelompok membentuk kroni yang solid sehingga berkekuatan
raksasa. Raksasa dalami semua lini. Mereka kampiun dalam teror, fitnah,
agitasi, suap, kolusi dan masih banyak lagi yang belum ada namya sampai saat
ini. Mereka sengaja membuat kegaduhan moral kepada semua orang terutama
penentang keangkaramurkaan. Para penentangnya dibuat menyerah bertekuk lutut
tanpa ampun, tanpa bisa bangun lagi. Yang lain pilih diam membisu. Yang ciut
nyalinya memilih menjadi pengikut, yang masih punya nyali pilih memasuki daerah
masa bodoh. Posisi saya saat ini sudah sangat dekat dengan ambang batas,
tinggal sejengkal lagi sudah memasuki daerah masa bodoh. Sayang memang, tetapi
apa boleh buat barangkali itulah yang terbaik untuk diri saya saat ini, semua
sudah di luar kemampuan saya. Jika nanti saya benar-benar memasuki daerah masa
bodoh, bukan berarti semua saya cuekkan, tugas individu yang merupakan
kewajaiban akan saya bayar tunai tanpa harus menyisakan hutang, tanpa harus
berselingkuh dengan manipulasi dan kemalasan. Semua saya lakukan demi
kehormatan seorang manusia biasa yang kesepian karena mendambakan suasana yang
sebenarnya biasa-biasa saja. Sesuatu yang biasa-biasa saja kelihatan luar biasa
karena berada dalam kungkungan kesesatan yang luar biasa dan dipandang menggunakan
cara pandang miring luar biasa. Baru saja menyusun strategi dalam daerah yang
sebentar lagi akan saya masuki, mendadak sebuah email masuk. Email dari Team
Internat Cerdas Indonesia (ICI). Saya baca :
Anda Mau
Membuat Perubahan Melalui Pena? Jangan menganggap remeh sebuah gagasan yang
dituangkan dalam bentuk tulisan. Sudah banyak buktinya tulisan bisa mengubah
sejarah peradaban umat manusia. Jadi, jangan menunda waktu lagi. Ayo angkat
pena dan rubahlah Indonesia dan Dunia dengan tulisan.
Seketika darah saya bergolak memancarkan energi
berlipat ganda, saya beristighfar dan berta’awudz karena nyaris masuk perangkap
kekalahan yang sejati. Memang benar tulisan dapat mengubah dunia. Bukan
kebetulan bukan pula rekayasa. Ini buktinya. Seseorang yang nyaris terhempas
dalam daerah masa bodoh, mendadak bangkit dengan kekuatan baru yang berlipatan
ganda. Kekuatan yang mampu menendang perasaan masa bodoh hingga menjauh sejauh-jauhnya.
Refleksi Menuju
Dedikasi
Masalah kedisiplinan kurang, motivasi rendah, antusias nihil bukankah
ini adalah bahasa tubuh siswa yang kalau diterjemahkan bahwa ‘cara mengajar
kitalah yang belum bagus, belum menarik’. Memang benar kita mengajar siswa,
tetapi sejatinya siswa juga mengajari kita bagaimana cara mengajar yang baik
lewat bahasa tubuh mereka. Solusinya tentu merancang pembelajaran yang lebih
menarik, bukan mencari kambing hitam. Hal yang aneh jika masalah yang sama
terjadi berulang, hanya dicari kambing hitamnya tidak pernah dicari jalan
keluarnya. Bukankah masalah itu ada untuk diselesaikan bukan untuk dikeluhkan. Kalau
dunia tanpa masalah justru itu menjadi masalah. Guru yang selalu mengeluhkan kekurangan, guru yang
selalu menyalahkan keadaan, guru yang selalu menyalahkan orang lain, guru yang
selalau menganggap siswanya bodoh itu adalah ciri-ciri guru yang kurang
konsisten terhadap pilihan, guru yang kurang komitmen, guru yang kurang
dedikasi, guru yang tidak setia kepada profesi.
Serendah apapun input siswa, seburuk apapun lingkungan siswa, kita yang
nota bene ‘ahli’ dalam dunia pendidikan tidak boleh menyerah. Masalah yang
muncul hendaknya coba kita rumuskan bersama sama dan dibuka jalan keluarnya
dengan penuh dedikasi dan optimisme. Jika terpaksa ada siswa yang harus gagal
ya apa boleh buat, yang penting kegagalan bukan berasal dan bukan bersumber
dari kita tetapi melulu berasal dari siswa. Jika dalam bekerja kita sudah
membentuk team yang solid dan pantang menyerah tentu kebodohan tidak akan lama
bercokol. Semoga.
Iri Pada Kemalasan. Di setiap populasi secara alamiah selalu tunduk pada hukum statistik.
Hukum Statistik yang membagi setiap populasi menjadi tiga kelompok. Kelompok
atas, kelompok tengah dan kelompok bawah. Kalau tinjauan dalam suatu populasi
mengenai sikap rajin maka ada kelompok rajin, kelompok malas dan kelompok yang
berada di tengah-tengah. Disebut rajin tidak, disebut malas juga tidak.
Setengah rajin setengah malas begitu. Mohon maaf karena terpaksa menggunakan
kata ‘malas’ untuk menggambarkan dua kata yang berlawanan. Rajin lawan katanya
malas. Kelompok rajin dan kelompok malas jumlahnya lebih kecil dibanding
kelompok tengah-tengah. Dari sisi emosi kelompok rajin relatif tidak stabil,
sebagian besar yang dijumpai selalu saja tidak sesuai dengan yang mereka
harapkan, karena yang menjadi ukuran adalah keinginan mereka. Mereka
menginginkan semuanya rajin, semuanya idealis, semuanya berprestasi seperti
mereka. Kelompok tengah-tengah relatif lebih stabil, mereka memahami keadaan
apa adanya, menjalaninya seperti air
mengalir, tidak banyak keiginan, tidak bernafsu melakukan perubahan dan tidak
berpikir prestasi. Kelompok malas sangat stabil, karena lebih banyak bersikap
masa bodoh, cuek, ndableg, nampak tidak merasa bersalah walaupun melakukan
kesalahan. Sikap inilah yang sering membuat kelompok rajin menjadi gusar,
marah, kecewa. Bahkan putus asa ketika dalam populasi formal, kelompok malas
tidak menampakkan perubahan ke arah kemajuan. Contoh populasi formal misalnya populasi
guru yang ada di sebuah sekolah. Walaupun namanya guru tidak luput dari hukum
statistik di atas. Jadi ada guru rajin, ada guru setengah rajin setengah malas
dan ada guru malas. Sekali lagi mohon maaf karena menggunakan kata ‘malas’.
Malas yang dimaksud tentunya relatif dibandingkan rajin. Guru rajin
menginginkan sekolahnya berjalan sesuai aturan, ada impian, ada rencana dan ada
tindakan. Dari hari ke hari dari tahun ke tahun mereka mendambakan sekolahnya
mengalami perubahan ke arah kemajuan, konsekuensinya harus rela lebih repot. Celakanya
semua yang digagas tidak bisa dilaksanakan sendirian, mereka membutuhkan
dukungan dari kelompok tengah maupun kelompok malas. Kelompok rajin kadang
kurang sabar, mereka bernafsu sekali mewujudkan impiannya secepat-cepatnya.
Namun mereka tidak bisa menghegemoni sekolah dengan dalih cita-cita mulia
mereka. Ya begitulah karena sekolah merupakan kerja team. Sehebat apapun kelompok
rajin jika tidak mendapat dukungan dari semua kelompok hanya akan berbuah
keputus asaan. Jika itu yang terjadi, ungkapan seperti ini menjadi sering
dilontarkan ‘Enak jadi guru malas ya kalau begini ini. Tidak pernah repot,
tidak pernah stres sementara gaji yang diterimapun sama. Lantas apa bedanya
antara rajin dan malas ? Mulai saat ini saya pilih jadi guru malas saja, apa
untungnya memikirkan sekolah, malah bikin stres saja.’ Ungkapan ini
sesungguhnya hanya luapan emosi sesaat saja. Guru yang rajin tidak bisa serta
merta bermetamorfosis menjadi guru malas, karena malas bukan karakternya. Ingin
menjadi malas itu hanya ucapan dibibir saja batinnya berontak, sementara yang
dilakukan tetap mencerminkan sosok guru yang rajin. Apa pula untungnya iri pada
kemalasan. Jika guru yang rajin iri terhadap temannya yang malas, itu berarti
mereka belum ikhlas dalam melaksanakan tugas. Sikap rajinnya dikira untuk orang
lain. Padahal tidak demikian semua yang kita kerjakan pada hakekatnya adalah
untuk diri kita sendiri. Bersikap rajin berarti berbuat rajin pada diri
sendiri. Buahnyapun yang memetik adalah diri sendiri. Masak menyesal berbuat
baik pada diri sendiri ? Jangan dikira malas itu enak, enjoy dan tanpa masalah.
Sebenarnya guru malas ini menderita juga, mereka iri kepada teman-temannya yang
rajin. Mereka ingin juga mendapatkan penghargaan yang paling esensial dalam
hidup, penghargaan yang tidak bisa dibeli dengan apapun. Penghargaan itu
bernama pengakuan. Pengakuan tentang kelebiahan-kelebihan dibanding orang lain.
Pengakuan ini jangan dipandang remeh, karena pengakuan selanjutnya melahirkan
kepercayaan, kepercayaan terhadap
seseorang karena kemampuannya yang tidak dimiliki orang lain. Kemampuan
kemudian membuahkan prestasi. Prestasi tidak selalu identik dengan kejuaraan
atau pertandingan. Membuat suasana menjadi menyenangkan itu merupakan sebuah
prestasi. Membuat persoalan menjadi mudah itu juga merupakan prestasi. Siapa
yang tidak bangga mempunyai prestasi ?
Keinginan Setengah Hati
Semua orang menginginkan prestasi, semua orang menginginkan pengakuan
tentang kelebihan-kelebihannya dibanding orang lain. Pendeknya semua ingin
berprestasi baik prestasi secara individual maupun secara team. Jika menyangkut
sekolah prestasi yang dimaksud lebih banyak dilakukan secara team. Team harus
kompak tentunya di bawah komando seorang komandan yang bernama Kepala Sekolah.
Semua kepala sekolah tentu menginginkan sekolahnya breprestasi. Karena prestasi
sekolah yang diraih melalui team mencerminkan kepiawaian kepala sekolah secara
pribadi. Semakin hebat suatu sekolah otomatis mengangkat nama sang komandan
secara pribadi. Dapat mengharmoniskan team hingga meraih prestasi berarti
komandannya memang jempolan. Prestasi dapat diraih tentu tidak hanya sekedar
bermimpi tanpa usaha. Kalau menginginkan sesuatu tanpa diiringi dengan usaha
yang memadai itu bukan bermimpi namanya tetapi berkhayal kata ustad Yusuf
Mansur. Fakta yang muncul, saya sering menjumpai tipe komandan penghayal bukan
pemimpi. Bagaimana tidak dikatakan penghayal wong ingin prestasi tetapi tidak
‘sembodo’ tidak melakukan sesuatu yang memadai. Menginginkan prestasi tidak
mengelola sumber daya manusia sesuai standar. Mendisiplinkan guru tetapi
mengabaikan kebersamaan. Memupuk rasa kebersamaan tetapi lemah dalam
kedisiplinan. Ada anggota team yang menyimpang sang komandan pura-pura tidak
tahu, ada anggota team yang tidak bersemangat tidak pernah diingatkan. Nampaknya
sang komandan tidak mau repot. Baik buruk salah benar menjadi tidak ada
bedanya, semua sama saja, semua dicuekin. Kalimat yang pantas untuk melukiskan
adalah ‘Emang Gue Pikirin’. Anggota team tidak ada yang tahu peran
masing-masing dalam sebuah kegiatan. Semua berjalan ala kadarnya tanpa rencana
matang, tanpa tahu arah dan tujuannya. Semua berjalan seperti air mengalir,
menyebar ke mana-mana. Sebagian besar guru ‘senang’ sebab tanpa kerja keras
gaji tetap diterima, besarnyapun sama. Mau kerja keras mau santai semua sama
saja tidak ada bedanya. Konflik antar guru, konflik antara guru dan kepala
sekolah nyaris tidak pernah ada. Konflik yang sebenarnya sebuah dinamika alamiah
menjadi haram. Semua menikmati suasana yang adem ayem saja. Suasana adem ayem
sebenarnya memang sengaja diciptakan oleh sang komandan demi kepentingan
pribadi yang jauh dari prestasi.
Menyangkut sumber daya keuangan lebih parah lagi. Tidak ada yang tahu
kegiatan apa yang harus dilakukan, kegiatan mana yang harus mendapat porsi dana
lebih besar karena berkaitan langsung secara signifikan dengan prestasi.
Pengelolaan keuangan sangat terpusat dan tertutup. Semua dana digenggam
erat-erat hingga tidak ada yang tercecer. Jari-jemarinya begitu kokoh untuk
menggenggam, sampai-sampai airpun tidak sanggup tumpah dalam genggaman sang
komandan. Dalam kondisi seperti ini masihkah relevan bicara tentang prestasi ?
Kita semua tahu jawabannya yaitu TIDAK.
Pengelolaan ala kadarnya tidak akan membuahkan prestasi. Keinginan
tidak bisa diraih hanya dengan setengah hati. Jika ingin prestasi, pengelolaan
harus baik tetapi ‘merugikan’ sang komandan secara finansial karena ruang
manipulasi menyempit dan ruang realisasi melebar. Komandan rela apa tidak.
Kalau rela mari kita realisasikan, kalau tidak jangan mengulangi kata PRESTASI.
Jika pengelolaan hanya ala kadarnya jangan bicara masalah prestasi. Sama dengan
pungguk merindukan bulan. Prestasi dapat diraih jika sekolah dikelola dengan
sungguh-sungguh. Dilakukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Suasana
dibuat sekondusif mungkin, team dibuat sekompak mungkin. Semua wajib
memfasilitasi diri tidak ada perkecualian walaupun itu si pungguk. Pungguk
tidak diharamkan merindukan bulan. Pungguk bisa sampai ke bulan jika dia dengan
ikhlas memfasilitasi diri. Mempunyai ilmu dan sarana yang cukup untuk sampai ke
bulan. Sekolah dapat berprestasi jika sekolah tersebut dengan sadar dan ikhlas
memfasilitasi diri. Memfasilitasi diri menyangkut pengelolaan sumber daya
manusia dan sumber daya keuangan. Dari
sisi sumber daya manusia yang menyangkut guru sebagai tenaga pendidik dan staf
kantor sebagai tenaga kependidikan. Sang komandan harus piawai dalam
menciptakan kedisiplinan sekaligus kebersamaan. Disiplin tanpa kebersaaan, yang
muncul hanya geng dan geng. Budaya geng adalah saling menjegal satu sama lain.
Kebersamaan tanpa kedisiplinan yang muncul kesemrawutan. Hasilnya kinerja
rendah.
Dari sisi sumber daya keuangan perlu perencanaan kegiatan yang dapat
mendukung diraihnya prestasi. Kegiatan-kegiatan yang berdampak signifikan
terhadap prestasi diberi alokasi dana yang memadai, kegiatan yang sifatnya
hanya asesoris diberi porsi yang lebih kecil. Semua harus transparan. Anggota
team harus mengetahui peran masing-masing dalam setiap kegiatan. Setiap
kegiatan direncanakan secara detail menyangkut kekuatan dan kelemahan serta
hambatan sekaligus strategi untuk mengatasi hambatan tersebut. Selesai kegiatan
dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana pencapaian sebuah prestasi.
Terima Apa Adanya. Kalimat seperti judul di atas bermakna amat bijak. Menerima sesuatu
tanpa mengeluh, seperti apapun keadaannya. Jika keadaannya baik maka bersyukur
tanpa harus meluapkan kegembiraan berlebihan apalagi takabur. Namun jika
keadaannya jelek tidak terlalu risau apalagi menyesal. Benerakah kita harus
menerima sesuatu apa adanya ? Tanpa harus melakukan perubahan ? Kalau jelek
dibiarkan jelek ? Kita terima kejelekan tanpa berusaha memperbaikinya ? Jika
yang kita terima keadaannya baik, tidak menjadi masalah. Walaupun kebaikan itu
perlu juga ditingkatkan kadar dan intensitasnya.
Jika pemaknaan kalimat ‘Terima Apa Adanya’ betul-betul apa adanya tentu
akan menjadi kacau. Pemaknaan ‘saklek’ akan bermasalah di kemudian hari. Sebab
kalau seseorang sudah berjanji menerima apa adanya tentang orang lain di awal
sebuah persahabatan atau hubungan istimewa, dia tidak boleh protes jika di
kemudiaan hari ketahuan kekurangan dan kelemahan pasangannyanya. Jika yang terjadi
adalah pertengkaran karena tidak bisa menerima kekurangan dan kelemahan pasangannya,
itu berarti terjadi pegingkaran terhadap sebuah janji ‘terima apa adanya.’
Begitu juga sebaliknya berlaku untuk pasangan yang satunya karena semua orang
mempunyai kekurangan dan kelemahan. Pertengkaran berebut siapa yang benar bisa
menjadi seru tak berkesudahan. Yang satu berkata ‘ Dulu kamu berjanji bisa
menerima saya apa adanya. Setelah kamu tahu semua tentang saya, ya inilah saya.
Mengapa kamu tidak bisa menerima ?’ Diprotes begitu pasangan yang satu tidak
mau kalah bahkan menuduh balik ‘ Yang tidak bisa menerima apa adanya itu kamu.
Inilah saya. Sekarang kamu baru tahu kalu sifat saya adalah tidak bisa menerima
kekurangan kamu. Mestinya kamu harus menerima sifat saya yang seperti ini apa
adanya. Bahkan sifat saya yang mau menang sendiri pun kamu juga harus menerima
apa adanya.’
Dari pertengkaran dua orang sepasang di atas tentu jika kita kaji lebih
jauh ternyata keduanya tidak ada yang salah sebab keduanya harus menerima sifat
sejelek apapun apa adanya. Sifat mau menang sendiri, tidak toleran bahkan
menyukai kekerasan pun harus diterima apa adanya. Bisakah kita menerima apa
adanya dengan membabi buta seperti ini ?
Terima apa adanya tidak bisa kita artikan sesaklek itu sesuai makna
yang tersurat. Terima apa adanya justru bermakna tersirat ‘Jangan Terima Apa Adanya.’
Supaya diterima kita harus melakukan penyesuaian. Sifat mau menang sendiri dan
tidak toleran harus ditekan serendah rendahnya. Pendeknya semua sifat jelek
yang menyangkut diri kita harus kita buang sejauh-jauhnya. Selain itu kita juga
jangan menerima apa adanya tentang orang lain. Kita wajib menasihati maupun
mengingatkan sahabat kita jika menampakkan sifat yang kurang baik, sifat yang
menjadikan orang lain merasa tidak nyaman. Pendeknya semua sifat jelek yang
tidak bisa kita terima apa adanya perlu kita sampaikan apa adanya.
Keinginan Setengah Hati sangat inspiratif bagi kepala sekolah. Trim
BalasHapus