Setiap pertama kali tatap muka saya
tidak langsung mengajar. Waktu ‘emas’ yang amat menentukan keberhasilan pembelajaran
ini saya gunakan sebaik-baiknya untuk menata emosi siswa. Langkah pertama harus
sukses, langkah berikutnya tinggal mengikuti kesuksesan awal. Dalam membuka
pembelajaran di hari pertama saya awali dengan melempar pertanyaan.
“Untuk apa kita bersekolah ?” Mereka menjawab hampir
bersamaan. Karena bersamaan jawaban mereka terdengar tidak jelas. Saya segera
menyadari bahwa pertanyaan terbuka yang ditujukan kepada semua siswa akan
mendapatkan jawaban beragam yang tidak jelas maknanya. Bahkan bagi siswa yang
nakal ini kesempatan untuk ngerjain gurunya dengan melontarkan jawaban yang
menyimpang agar terdengar lucu sehingga semua teman-temannya tertawa
bersama-sama geerr. Kesalahan ini berkali-kali saya sadari tetapi berkali-kali
pula saya ulangi. Pada hari pertama ini saya bertekad untuk tidak mengulangi
lagi di lain hari. Memang benar saya mengajari anak-anak mengenai pelajaran IPA
tetapi benar juga bahwa anak-anak juga mengajari saya bagaimana cara mengajar
yang benar. Cara mereka merespon jawaban, bahasa tubuh mereka merupakan
pelajaran berharga bagi saya. Sebuah pelajaran yang tidak akan saya dapatkan
dari dunia manapun. Dengan pengalaman itu dan dari pengalaman sebelumnya saya
cepat tanggap apa yang sedang dirasakan siswa. Saya paham bahasa tubuh mereka.
Bahasa tubuh yang menyiratkan perasaan bosan, jenuh tentu harus segera saya
respon dengan bijak tanpa harus marah-marah. Karena marah-marah itu sebuah
pertanda bahwa saya sudah kehabisan akal. Kehabisan akal untuk menyajikan
pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Mana ada orang yang dimarahi
kemudian menjadi senang ? Perasaan jenuh dan bosan saya respon dengan
menayangkan video motivasi atau video lucu. Setelah itu dikomentari untuk
menggugah semangat baru proses pembelajaran dilanjutkan lagi.
Saya ulangi pertanyaan saya tadi tetapi kali ini saya
tujukan kepada salah seorang siswa.
“Untuk apa kita bersekolah ?”
“Supaya pinter pak.” Jawabnya
“Apakah semua orang yang bersekolah itu pinter ?” saya kejar
dengan pertanyaan berikutnya.
Sejenak suasana hening tidak ada jawaban. Saya ulangi
pertanyaan itu, kali ini saya tujukan untuk semua siswa. Kali ini saya tidak
takut melontarkan pertanyaan untuk semua siswa sebab saya sudah memprediksi
bahwa jawabannya hanya ‘ya atau tidak’. Sebuah jawaban singkat walaupun
diucapkan bersama-sama tetap terdengar jelas.
“Tidak…” Mereka menjawab serempak
“Mengapa tidak ? Berarti ada syarat lain supaya pinter ?”
“Ya… syaratnya harus rajin belajar pak.” Jawaban mereka
tepat seperti yang saya inginkan.
“Bagus.. bagus. Sanggupkah kamu rajin belajar mulai saat ini
?”
“Sanggup…” Jawab mereka kompak.
“Apakah kesanggupan itu hanya cukup diucapkan saja ?”
“Tidak…. Harus dibuktikan pak.”
“Ya kesanggupan itu harus dibuktikan dengan tindakan nyata.
Orang lain akan percaya jika kesanggupanmu sudah ada buktinya. Jika belum ada
buktinya orang lain akan menilai bahwa kamu hanya od alias omong doang. Saya
percaya kamu dapat membuktikan kesanggupanmu. Karena kamu adalah anak yang
menjadi kebanggaan orang tuamu. Kamu adalah siswa kebanggaan saya. Buatlah
semua bangga akan prestasimu” kata-kata saya membesarkan hati mereka. Dengan
demikian ada harapan dapat mengendalikan emosi mereka.
Siswa perlu dibesarkan hatinya agar energi dahsyat yang
tersimpan dalam dirinya bisa keluar membawa manfaat. Setelah emosi mereka tertata saya
lanjutkan dengan menayangkan slide yang berisi motivasi. Di sekolah pinggiran
seperti sekolah saya ini, saya pilih 3 hal yang paling urgen untuk diangkat ke
permukaan yaitu : 1. Ciptakan suasana tenang, 2. Berlaku sopan, 3. Jaga
kebersihan
Siswa putra di sekolah saya mempunyai budaya yang kurang terpuji.
Mereka suka melontarkan ucapan-ucapan yang dipanjang-panjangkan ketika menjawab
salam, dalam mengamini doa maupun dalam mengomentari hal-hal yang lucu. Budaya
yang cenderung kurang sopan.Tentu saja budaya seperti ini selain membuat gaduh
suasana kelas juga kurang pantas. Pembelajaran yang sudah berlangsung penuh
konsentrasi menjadi berantakan. Kebersihan juga belum menjadi budaya mereka.
Membuang sampah masih seenaknya. Sesudah istirahat jangankan depan kelas, ruang
kelaspun menjadi kotor, penuh dengan sampah plastik bungkus makanan. Tempat
sampah yang disediakan seperti hanya hiasan saja. Di dekat bak sampah justru
banyak sampah. Tiga masalah utama itulah yang saya coba untuk diperangi. Di
hari pertama tatap muka saya sempatkan menayangkan slide berupa poster maupun
video yang melukiskan pentingnya menciptakan suasana tenang, pentingnya berlaku
sopan dan pentingnya kebersihan. Pada pertemuan berikutnya perlu selalu
mengingatkan tiga hal tadi dan selalu mengontrol kebersihan kelas dan
lingkungannya. Bel masuk masih kurang 5 menit saya sempatkan menuju kelas untuk
mengontrol kebersihan, begitu juga saya lakukan
sesudah jam istirahat. Hasilnya sedikit ada perubahan, ketika jam saya
anak-anak sudah hafal mereka membersihkan kelas dan lingkungan lebih dahulu
sebelum pelajaran mulai. Dalam suasana kelas yang bersih itu proses
pembelajaran berlangsung lebih nyaman. Menjadi guru di daerah pinggiran memang harus
mempunyai banyak jurus berimprovisasi dalam mengkondusifkan suasana. Sebelum proses
pembelajaran perlu ada langkah pendahuluan yang harus dilakukan. Harus ada
pemanasan tentang tiga hal tadi. Ciptakan suasana tenang, berlaku sopan dan
jaga kebersihan. Terus digelorakan setiap hari. Sesuatu yang didengar terus
menerus setiap hari akan diterima sebagai suatu kebenaran.
Seperti sekolah-sekolah pinggiran pada
umumnya, jumlah siswa SMP Negeri 1 Pitu dari tahun ke tahun selalu di bawah
pagu, artinya semua pendaftar selalu diterima tidak satupun ditolak. SMP Negeri
1 Pitu terletak di seberang utara bengawan Solo, daerah perbatasan antara
kabupaten Ngawi - Jawa Timur dan Kabupaten Blora - Jawa Tengah. Terdapat stigma
yang melekat bahwa daerah di seberang utara bengawan Solo merupakan daerah
tertinggal baik dari sisi ekonomi orang tua siswa maupun kepedulian orang tua
terhadap pendidikan. Orang tua lebih bangga jika pada saat punya hajad
menghabiskan biaya besar untuk mengundang pertunjukan campur sari atau ketoprak
daripada untuk membiayai anaknya melanjutkan sekolah lebih tinggi. Orang tua
lebih memilih tercatat di hati masyarakat sebagai orang yang pernah membuat panggung hiburan meriah, soal anaknya
tidak melanjutkan sekolah itu bukan hal yang merisaukan.
Keadaan semacam ini bukan untuk disesali atau dibuat alasan
untuk bermalas-malasan. Kondisi yang merupakan faktor kelemahan ini justru saya
jadikan motivasi untuk memperbaiki proses pembelajaran. Dalam hati saya bertekad
‘di lingkungan rumah kamu boleh berpikiran dan berbuat semaumu tetapi di dalam
kelas kamu harus tertarik pada pelajaran yang saya sajikan.’ Untuk menarik
perhatian mereka tentu tidak dengan cara klasik yaitu marah-marah dan
menghukum. Saya ingin mereka tertarik mengikuti pelajaran secara alamiah. Saya
ingin mereka tertarik karena memang belajar itu kegiatan yang menyenangkan.
Untuk keperluan itu saya menggunakan alat bantu berupa lcd proyektor. Saya
ingin menunjukkan hal-hal yang menakjubkan melalui teknologi. Saya ingin
menjadi guru yang bisa menginspirasi mereka untuk berubah. Seperti kalimat
bijak yang sering saya baca. Guru yang baik adalah guru yang menjelaskan. Guru
yang lebih baik adalah guru yang mempraktikkan. Guru terbaik adalah guru yang
menginspirasi.
Menjadi Pemenang Sejati. Saat ini kejujuran merupakan barang langka
yang susah ditemukan. Sudah langka terus menerus dicibir, dikeroyok dan
dimusuhi pula. Karena mayoritas pemimpin tidak menyukai kejujuran. Memang ada
pemimpin yang jujur tetapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Karena
sedikitnya mereka tidak mampu mewarnai. Dalam instansi mana saja dalam
perkumpulan apa saja kejujuran sering terpinggirkan. Kepala instansi mana saja
pemimpin perkumpulan apa saja mayoritas menempatkan kejujuran sebagai musuh
utama. Ganti tahun ganti kepala ganti pemimpin namun hanya sosoknya saja yang
ganti semangatnya yang anti kejujuran tetap abadi. Karena sistem pengkaderannya
sudah diatur sedemikian rapi. Hanya ketidak jujuran saja yang boleh lewat. Kejujuran
dilarang masuk. Mayoritas menetapkan syarat utama untuk menjadi pemimpin adalah
tidak jujur. Walaupun persyaratan itu tidak pernah tertulis tetapi justru
sangat menentukan. Persyaratan-persyaratan tertulis yang isinya baik sebagian
besar diabaikan. Kebaikan hanya ucapan praktiknya kemungkaran. Sekali lagi
memang tidak semua pemimpin seperti itu tidak semua pemimpin menanggalkan
nurani dan akal sehat. Masih ada pemimpin yang jujur dan punya nurani tetapi
lagi-lagi jumlah mereka terlalu kecil. Karena bilangannya kecil muncul seloroh
‘ Lho orang jujur kok bisa jadi pemimpin. Apa tidak salah ?’
Ketidak jujuran sudah banyak memakan
korban. Di dalam maupun di luar sistem. Jujur saja kita adalah korban ketidak
jujuran. Walaupun demikian kita tetap harus mengedepankan kejujuran dalam meraih
impian. Di dalam sistem sebenarnya banyak yang berontak tetapi kekuatan mereka
tidak sebanding dengan meraksasanya ketidak jujuran. Kekalahan ‘perang’
mengakibatkan mereka tertawan oleh kemungkaran. Namun di balik kekalahan
sebenarnya bermakna penyelamatan. Inilah cara Allah dalam mengangkat derajad
umatnya. Melalui kekalahan mereka ditingkatkan derajadnya jika tetap teguh berpegang
pada kejujuran. Karena kekalahan, mereka terus dipelototi sang bos dan
antek-anteknya. Melakukan kesalahan sedikit saja diberi sanksi berat. Ini pula
cara Allah dalam penyelamatan. Dengan dipelototi, diawasi semua gerak-geriknya,
justru mereka terselamatkan dari ketidak jujuran. Terselamatkan dari tindakan
tidak terpuji yang merugikan diri sendiri.
Mereka sebenarnya pemenang yang sejati karena dalam himpitan dan
kesulitan mereka tetap meniti jalan kejujuran. Dalam tekanan dari segenap
penjuru mereka tetap bertahan. Mereka tetap berkinerja bagus serta berdisiplin
tinggi. Kesulitan justru menjadi motivasi untuk menjauhi kemungkaran. Kesulitan
justru menjadi motivasi untuk berprestasi. Sampai-sampai sang bos kebingungan
dalam mencari-cari kesalahan. Sang bos kebingungan dalam mencari celah untuk
menjatuhkan. Karena celah sesempit apapun sudah tertutup oleh kinerja yang
bagus. Cara sebusuk apapun tidak mampu menggoyahkan kejujuran. Kejujuran adalah
sebuah pilihan. Sekali mengikrarkan kejujuran selamanya pantang surut. Berlaku
jujur tidak takut musuh tidak pula takut jabatan menjauh. Jabatan yang diraih
dengan ketidak jujuran membuahkan kecemasan. Kecemasan jauh dari kebahagiaan. Karena
kebahagiaan tidak bisa diraih dengan ketidak jujuran. Bekerja tanpa jabatan
justru lebih tenang. Itulah kebahagiaan, itulah pemenang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar