❑Asam Basa
Mengukur Diameter Matahari

Saya Sudah Berubah. Teman-teman
bilang bahwa saya tidak seperti dulu lagi. Dulu suka meluruskan begitu
mengetahui ada penyimpangan. Dulu kritis pada hal-hal yang tidak pada
tempatnya. Menentang atasan sudah menjadi ‘sega jangan’ sebab atasan memang
makhluk yang pantas ditentang. Bagaimana tidak, yang namanya atasan identik
dengan penyimpangan. Aneh tapi nyata di sekolah tercinta ini yang menjadi
pemimpin kebanyakan bukan orang baik-baik. Ini karena proses perekrutannya
memang jauh dari nilai baik-baik. Syarat tertulis memang baik-baik, tetapi yang
menentukan jadi dan tidaknya bukan syarat yang tertulis tetapi syarat yang tidak
tertulis. Syarat tertulis hanya sekedar hiasan tanpa makna, tidak mempunyai
wibawa maupun kesakralan. Padahal sekolah adalah lembaga yang menjunjung tinggi
kejujuran, kebenaran dan hal-hal baik lainnya. Bagaimana mungkin sekolah mampu
mengimplementasikan visi dan misi yang begitu mulia sementara pemimpinnya
adalah orang-orang yang tidak menggubris keluruhan. Bicara visi misi hanya
basa-basi tetapi sejatinya yang penting adalah keuntungan pribadi. Lima kali
ganti pemimpin hanya satu orang yang agak baik lebih tepatnya terpaksa agak
baik. Karena desakan teman-teman yang begitu membahana. Empat yang lain hanya
sosoknya saja yang ganti polanya sama saja. Pola yang tidak bisa ditauladani.
Pola yang jauh dari nilai-nilai manusiawi. Bagaimana tidak, setiap saat selalu
berselingkuh dengan manipulasi. Manipulasi dana BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), manipulasi proyek pengadaan gedung, manipulasi rehab, manipulasi dana
sumbangan masyarakat dan entah manipulasi apa lagi. Dulu saya yang paling getol
meneriakkan keterbukaan. Saya tidak peduli teriakan saya menyinggung perasaan
mereka. Saya hanya berpikir bagaimana cara memanfaatkan dana melimpah ruah itu
sebagaimana mestinya. Dana yang besarnya luar biasa itu harus digunakan untuk
kepentingan pendidikan jangan sampai berbelok masuk ke dalam kantung makhluk
serakah itu. Berkat kekompakan teman-teman kami eksis untuk beberapa saat.
Tetapi lama kelamaan sikap yang selalu konfrontasi ini membuat saya bosan. Saya
tidak menikmati keadaan ini. Saya justru terganggu. Setiap hari dongkol
uring-uringan berakibat mengurangi kebahagiaan. Hidup terasa tidak indah dan
tidak produktif serta jauh dari kualitas. Akhirnya perlahan-lahan saya
tinggalkan suasana penuh konfrontasi ini. Saya pilih menutup mata dan telinga
terhadap segala penyimpangan di sekolah. Ini saya lakukan karena semua sudah di
luar kemampuan saya. Mereka sangat kuat ditopang dengan organisasi mereka yang
bernama MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah). Dalam MKKS segala modus
penjarahan sudah direncanakan dan diseragamkan dengan matang. Yang belum tahu
menjadi tahu. Yang belum mahir menjadi mahir. Apalah artinya saya hanya seorang
guru yang mencoba menghadang dahsyatnya ‘tsunami’. Salah-salah malah tergulung
sia-sia. Lebih bijak menepi dan tahu diri sambil terus berharap semoga KPK
lekas datang. Untuk sementara ini silakan mereka merayakan kemenangan. Silakan
dana BOS dibawa pulang semua. Saya yakin dengan menelan dana yang bukan haknya
hati tidak akan tenang. Mereka boleh menjarah harta sekolah tapi jangan harap
hidup mereka tenang. Saya tidak akan mengganggu mereka lagi. Saya sudah
menemukan apa yang saya cari. Ketenteraman, kebahagiaan di dalam kelas bersama
anak-anak sambil meraih kembali kegemaran yang lama saya telantarkan. Kegemaran
yang tidak mengenal batas. Kegemaran yang mampu mengubah dunia dengan
gagasan. Kegemaran penuh kedamaian dan kejujuran. Kegemaran mengangkat pena
tanpa kekerasan. Saya memang tidak seperti dulu lagi. Saya
sudah berubah.
Reuni Antara Manfaat Dan Madlorot. Reuni, temu kangen atau diikuti kata akbar di belakang
reuni, biasa dilakukan untuk menarik perhatian dan membuat gempar suasana.
Apalagi diselenggarakan oleh alumni sekolah favorit, ketua penyelenggara
dipilih dari alumnus yang dinilai sukses dan berpengaruh lebih menghipnotis dan
membuat booming. Beragam apresiasi bermunculan dari para alumni. Ada yang
antusias, ada yang sekedar tertarik, yang kebanyakan adalah biasa-biasa saja.
Sebagian kecil saja yang tidak tertarik bahkan suudzon. Kok Suudzon ? Ya,
karena mereka punya pengalaman yang serba tidak menyenangkan ketika menyangkut
banyak orang.
Pihak
penyelenggarapun punya beragam alasan maupun tendensi. Ada yang punya niat
mulia yaitu ingin menunjukkan jalan kepada alumnus yang dinilai belum tahu
jalan menuju sukses. Ada yang ingin sekedar ketemu dengan teman lama. Ada yang
riak, yaitu ingin pamer kesuksesan. Ada yang melihat dari sisi bisnis yaitu
ingin cari keuntungan.
Ketika
reuni berlangsung, seperti biasa dibuat agak formal. Ada pembukaan, kata
sambutan dan seterusnya. Peserta yang hadir sebagian besar tidak menghiraukan
sambutan-sambutan, mereka lebih asyik ngobrol dengan teman lama yang senasib.
Yang nasibnya belum sukses berkumpul dengan yang belum sukses, itu yang berani
hadir. Sebagian besar yang belum sukses tidak berani hadir. Yang bernasib sukses
kumpul dengan yang sukses. Para alumni sudah tidak senasib lagi, jika
dipaksakan perasaan senasib jelas kelihatan itu hanya pura-pura saja. Sebagian
kecil saja yang memanfaatkan kesempatan yang sempit itu untuk merajut kembali
hubungan lama yang sempat terjalin dan berkeinginan melanjutkannya setelah
reuni.
Di
akhir acara biasanya penyelenggara memberikan sumbangan kepada sekolah.
Walaupun untuk saat ini sumbangan kepada sekolah bisa disamakan dengan nguyahi segara.
Dana bantuan dari pemerintah kepada sekolah untuk saat ini sangat melimpah.
Sekolah setingkat SMP menerima dana BOS Rp 59.000 lebih sedikit tiap siswa tiap
bulannya. Jika muridnya 1.000 orang berarti Rp 708 juta tiap tahunnya. Ini
untuk SMP biasa. Untuk SMP Standar Nasional masih ditambah Rp 100 juta
pertahun. Untuk SMP RSBI masih ditambah 300 juta pertahun dan iuran bulanan
siswa yang besarnya diatas Rp 100.000. Masih ditambah lagi iuran insidental
siswa yang besarnya di atas Rp 1,4 juta. Masih ada lagi dana bantuan lain yang
tergolong block grant. Jadi jika dilaksanakan dengan benar pasti bingung dana
mana yang mau dipakai dan dihabiskan ? Tentu kebingungan, tapi tetap saja bisa.
Luar biasa. Niat mulia alumnus bisa jadi malah menambah dosa sekolah. Alumnus
yang mencoba memerankan diri seperti ketika masih sekolah, seperti ketika masih
berpikiran polos bisa jadi menambah petaka akhirat. Karena ketidak jujuran
sudah membudaya. Tidak terkecuali di sekolah yang dulu sempat dipercayainya
sebagai gudangnya kejujuran.
PLPG = Ngempet
Pendidikan
Latihan Profesi Guru yang disingkat PLPG bertujuan mendongkrak profesionalisme
guru. Guru yang awalnya belum profesional setelah mengikuti PLPG menjadi guru
profesional. Guru profesional memiliki ciri-ciri : menguasai bidang, selalu
memutakhirkan ilmu, mempunyai etika kerja tinggi, mengembangkan jaringan kerja
dan mendapat imbalan yang layak. Guru merupakan garda terdepan dalam penyelamatan
generasi bangsa melalui pendidikan. Guru yang berkualitas menghasilkan
pendidikan berkualitas, pendidikan berkualitas menghasilkan generasi
berkualitas pula. Secara legal formal guru profesional adalah guru yang sudah
tersertifikasi dan dibuktikan dengan dimilikinya sertifikat pendidik.
Sertifikat pendidik ini diperoleh melalui PLPG selama 9 hari. Dalam waktu 9
hari itu guru digembleng agar lebih mumpuni dalam melaksanakan tugasnya. Namun
penggemblengan guru dalam PLPG sedikit tidak lazim. Selama 9 hari itu guru
peserta PLPG dilarang berbeda pendapat dengan dosen pemberi materi jika tidak
ingin mendapat kesulitan. Jika ingin lulus semua harus nurut. Tugas yang sudah
diacc oleh satu dosen tidak bisa dijadikan pedoman untuk tugas lain oleh dosen yang
lain. Kadang peserta lupa juga, ada yang tetap ngeyel karena memang sudah
disempurnakan dan sudah diacc oleh dosen sebelumnya. Namanya manusia disuruh
tetap bungkam kadang juga risih. Tidak sengaja terlontar kalimat ‘kemaren sudah
dibetulkan oleh bapak/ibu dosen, menurut bapak/ibu dosen kemaren begini’. Tapi
apa yang terjadi kemudian sungguh jauh dari profesionalisme. Bukan kalimat
penyejuk yang didapat melainkan kalimat ketus yang keluar dari mulut seorang
pencetak guru profesional. ‘Tidak usah bicara kemaren, sekarang ya sekarang.’
Teman peserta PLPG lain spontan menengahi dan menasihati ‘sudahlah pak/bu nurut
saja, saat ini kita butuh lulus, ngempet sedikit masak gak kuat.’ Ngempet
artinya menahan diri. Dalam PLPG ternyata sebuah ilmu tidak bersifat obyektif.
Benar hanya menurut dosen tertentu, menurut dosen lain belum tentu benar. Sangat
disayangkan dalam arena seperti itu terjadi pengingkaran terhadap obyektivitas
sebuah ilmu. Jika ada perbedaan mestinya banyak dilakukan diskusi untuk
mengembangkan gagasan supaya menghasilkan guru yang demokratis seperti yang
dipersyaratkan dalam standar proses. Bagaimana mungkin guru bersifat demokratis
sementara PLPG yang diikuti jauh dari suasana demokratis.
Pemaksaan untuk
ngempet ini sebenarnya sudah diisyaratkan oleh panitia di awal kegiatan. Bapak
ibu guru peserta PLPG dimohon jangan sekali kali ‘menentang’ dosen penyaji materi jika ingin
lancar, ngempet sedikitlah selama 9 hari ke depan. Kegiatan PLPG
selama 9 hari hanya membahas Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Pembahasan RPP mendapat porsi lebih banyak
dari pada PTK. Itupun wajib ditulis tangan dengan alasan menghindari copy paste
jika ditulis dengan komputer. Praktis Penyusunan RPP lengkap membutuhkan waktu
dan tenaga ‘ekstra’. Harus ekstra ‘ngempet’. Masak guru profesional dalam
menyusun RPP butuh waktu sebanyak itu dengan cara setradisional itu. Bukankah
lebih bermanfaat jika dalam PLPG peserta mendapatkan materi yang sangat
mendesak untuk dikuasai seperti cara memotivasi siswa dan penggunaan multi
media dalam pembelajaran.
Kedua materi
yang merupakan senjata ampuh bagi guru untuk melawan kebodohan itu jangankan
dibahas, disinggung saja tidak. Nuansa tradisional yang ketinggalan jaman dan
anti demokrasi teramat kental. Jangan salahkan jika selepas PLPG pola pikir
guru tidak mengalami perubahan sama sekali. Tunjangan profesi yang diterima
tidak dipakai untuk meningkatkan kompetensi diri tetapi untuk kepentingan lain
yang lebih bersifat konsumtif. Tidak salah
jika PLPG diartikan sebagai Pemborosan Lantaran Proyek Gagal. Gagal mencetak
guru profesional.
Nampaknya kita
semua masih harus menunda keinginan untuk segera menikmati pendidikan
berkualitas dari guru yang profesional. Kita masih harus ngempet lebih lama
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar