Anak
kebanyakan jika ditanya kamu ingin jadi apa ? Jawabannya spontan ingin jadi
insinyur, ingin jadi pilot, ingin jadi dokter. Tidak demikian dengan saya. Saya
tidak pernah punya jawaban jika ditanya seperti itu. Saya memang tidak pernah
punya cita-cita di masa kecil. Saya tidak tahu ingin jadi apa. Saya menjalani
kehidupan mengalir begitu saja tanpa ada keistimewaan. Saatnya sekolah ya
sekolah, saatnya bermain ya bermain. Saatnya masuk TK ya masuk TK. Seperti itulah kehidupan saya. Masa TK berlangsung 1
tahun. Puas bermain-main di TK Trisula II kemudian masuk SD
Ronggowarsito II. Saat pindah sekolah perasaan saya tidak menyiratkan sesuatu
yang istimewa. Semua terasa biasa saja. Cita-cita tetap belum muncul dalam
benak saya. Di SD ada 2 pelajaran yang saya sukai yaitu matematika dan
menggambar. Dari kecil sebelum TK saya memang sudah suka menggambar. Lantai
rumah yang terbuat dari semen penuh dengan lukisan saya. Setiap selesai bermain
ada saja hal-hal yang menarik kemudian saya tuangkan dalam lukisan. Beberapa lomba melukis saya
ikuti. Tetapi hanya dua kali mendapat juara yaitu juara 3 ketika TK dan juara 2
ketika SMA. Pendidikan SD sampai SMA semua di Ngawi. Setelah 6,5 tahun di SD
kemudian masuk SMP Negeri 2. SD saya lewati selama 6,5 tahun sebab waktu itu
ada tambahan 1 semester untuk penyesuaian kurikulum. Jadilah tahun pelajaran
sekolah diawali pada bulan Juli. Bahkan berlanjut sampai sekarang. Sebelumnya
tahun pelajaran sekolah diawali bulan Januari. Di SMP pelajaran yang saya sukai
tetap matematika dan melukis. Dengan berjalannya waktu pelajaran biologi
menjadi pelajaran yang juga saya sukai. Jadi ada tiga pelajaran yang ada di
hati. Matematika tetap saya sukai sebab pelajaran ini paling mudah karena tanpa
belajarpun tetap bisa mengikuti. Setiap ujian nilainya selalu sempurna 10.
Tetapi oleh beberapa teman matematika malah dianggap sebagai pelajaran yang
paling sulit. Bagi saya ini sungguh aneh, matematika kok sulit. Pelajaran yang
paling sulit bagi saya adalah Bahasa Indonesia. Sebab nilai ujian Bahasa
Indonesia tidak pernah mencapai sempurna 10. Terasa sulit karena pelajaran ini rasanya
kurang konsisten. Contoh : kata tulis menghasilkan penulis, sedangkan kata
tinju menghasilkan petinju bukan peninju. Puas 3 tahun di SMP saya melanjutkan
ke SMPP (Sekolah Menenngah Pembangunan Persiapan) sekarang menjadi SMA 2. Saya tahu SMPP ini ketika sudah kelas 3 SMP. Sebelum itu pahamnya bahwa selepas SD ke SMP. Selepas SMP ke SPG
(Sekolah Pendidikan Guru) sebab SD saya dulu bersebelahan dengan SPG. Jadi
pengetahuan saya selepas SMP adalah SPG bukan SMPP, SMA atau STM. Begitu sederhananya.
Setelah masuk SMPP mata pelajaran matematika dan biologi tetap mengisi ruangan
di hati saya, Bahasa Indonesia tetap menjadi pelajaran yang paling sulit
melebihi Bahasa Inggris. Menurut kebanyakan teman ini aneh, sayapun menilai
teman-teman saya aneh, matematika yang mudah dikatakan sulit. Jadi saling
memberi label aneh. Di SMPP pun saya belum punya cita-cita. Saya belum punya
gambaran selepas SMPP mau melanjutkan kemana. Wal hasil selepas SMPP saya
diterima di FKIP MIPA Fisika Universitas Sebelas Maret. Ini bukan pilihan pertama
tetapi pilihan kedua. Pilihan pertama saya Teknik Komputer ITS. Entah bagaimana
ceritanya dulu saya kok memilih fisika. Menjadi guru fisika belum pernah saya
bayangkan sebelumnya. Apalagi pelajaran fisika bukanlah pelajaran yang saya
sukai. Namun dengan berjalannya waktu hati saya lama-lama menjadi begitu mencintai
fisika. Fisika begitu hebat. Fisika dapat menjelaskan semua yang ada di bumi
bahkan di luar bumi. Semua gejala dari yang tak hidup sampai yang hidup dapat
dijelaskan dengan gamblang. Pengalaman menjadi guru fisika pertama kali di SMPK
Santo Thomas dan SMAN 1. Selebihnya menjadi guru komputer di SMAK Santo Thomas
dan SDK Santo Yosef. Serta menjadi guru di bimbingan belajar FK-MIPA Group. Yang
istimewa dalam bimbingan belajar saya mengajar SD, SMP, SMA serta karyawan
rumah sakit yang akan mengikuti tes pendidikan dan latihan. Tawaran terus
mengalir untuk mengajar privat tetapi berat rasanya untuk dapat saya penuhi
kecuali permintaan seorang teman guru SMAN 1. Ini satu-satunya tawaran privat yang
tidak dapat saya tolak. Walaupun demikian tetap saya jalani dengan gembira
tanpa beban. Karena beliau sekeluarga begitu rendah hati dan sangat hormat
kepada seorang guru privat. Menemani belajar fisika putri-putri beliau
berlangsung cukup lama. Menemani tiga putri kakak beradik dari SMP hingga SMA.
Pengalaman
menjadi guru PNS saya awali sejak 1 Desember 1995 di SMPN 1 Pitu. Pada tahun itu sebenarnya saya juga dinyatakan lulus tes guru di jajaran Departemen Agama. Selama menunggu proses terbitnya SK saya dititipkan di MAN Ngawi. Saya dihadapkan dengan dua pilihan yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Tidak mungkin saya pilih dua-duanya. Sebenarnya SK pengangkatan dari Depag terbit lebih dahulu, tetapi belum bisa saya bawa pulang. Saya belum bisa memenuhi satu syarat yang kala itu menjadi aturan tidak tertulis. Aturan itu cukup berat untuk kondisi saya saat itu. Saya bingung mau berbuat apa ? Di tengah kebingungan Allah SWT menunjukkan jalan. Tiga hari kemudian SK pengangkatan di SMPN 1 Pitu saya terima. Jadilah saya mengajar di SMP
pinggiran yang jauh dari modernitas. Awalnya bimbang namun lama-lama
kerasan juga. Segala kekurangan saya jadikan motivasi untuk maju. Tempatnya boleh
‘ndeso’ tetapi gurunya tak boleh ‘katrok’. Dari SMPN 1 Pitu inilah saya
diundang belasan kali pelatihan baik yang berskala regional maupun nasional. Bahkan
dari uji kompetensi guru tahun 2003 saya satu-satunya guru fisika dari Ngawi yang
berhak mengikuti ToT di Bandung dan Surabaya. Jadilah saya salah satu
instruktur fisika propinsi Jawa Timur. Beberapa kali saya melatih guru di
kabupaten dan propinsi. Pada tahun 2012 saya menjadi juara 1 olimpiade guru
fisika tingkat kabupaten. Saya semakin bersyukur ternyata saya terdampar di
tempat yang tepat. Di manapun tempatnya jika ingin maju jalan tetap terbuka. Beberapa
kali ada tawaran agar saya bersedia mutasi ke sekolah favorit namun tawaran itu
berat untuk saya penuhi. Dalam hati hanya ada satu, yaitu SMPN 1 Pitu. Sebuah
SMP yang banyak memberi. Apa yang saya beri terlalu kecil jika dibandingkan
dengan apa yang saya terima. Apalagi di situ saya dipertemukan dengan belahan
jiwa yang sekarang dipanggil ibu oleh kedua anak saya. Apa yang saya cari dalam
hidup sudah saya temukan. Jika sudah merasa tentram dan bahagia mau cari apa
lagi. Di sinilah cita-cita saya mulai tumbuh. Keinginan yang tidak ‘muluk-muluk’.
Saya hanya ingin jadi guru yang senang mengajar. Rasa senang harus tumbuh dari
hati yang paling dalam. Menjadi guru yang senang karena ingin bertemu dengan
siswa-siswanya. Menjadi guru yang senang karena ingin menyampaikan sesuatu yang
baru kepada siswa-siswanya. Saya tidak ingin seperti kebanyakan teman yang
menyesal menjadi guru. Diam-diam setiap hari saya mengamati teman-teman. Mereka
kurang menikmati dunianya sehingga mereka kurang senang mengajar. Mengajar hanya
sebuah rutinitas yang terpaksa mereka lakukan demi gaji semata. Guru yang terpaksa,
tentunya melahirkan siswa yang terpaksa juga. Siswa terpaksa mengikuti
pelajaran tanpa ketertarikan. Inilah yang tidak saya kehendaki. Saya ingin
siswa tertarik dan antusias dalam mengikuti pelajaran saya tanpa perasaan
terpaksa. Bahkan saya ingin mengubah rasa bosan menjadi kecanduan. Untuk kepentingan
ini harus saya akui bahwa saya hanya berbekal semangat. Ilmu yang saya miliki minim
sekali. Sekalipun saya sudah belasan kali mengikuti diklat tetapi rasanya belum
ada apa-apanya dibanding Ed Van Den Berg. Beliau seorang guru SMA Satya Wacana
Salatiga dan sekaligus dosen UKSW. Saya mengenal beliau saat masih kuliah dulu.
Beliau mengajar fisika begitu gamblangnya. Berbekal peralatan sederhana di
tangan beliau fisika menjadi menarik. Betul-betul mengajar fisika bukan
mengajar soal-soal. Konsep yang beliau ajarkan begitu gampang dipahami melalui
demonstrasi sederhana. Mengapa diklat-diklat yang saya ikuti selama ini tidak
satupun memberi contoh cara mengajar yang menyenangkan dalam arti yang
sesungguhnya. Bahkan sebagian besar mementingkan administrasi yang memberatkan.
Mengajar yang menyenangkan hanya judul saja dalam pelatihan tetapi isinya
membosankan. Mana bisa diterapkan di sekolah, pembelajaran menyenangkan hanya
sebuah nama tetapi sejatinya membosankan. Saya menjadi paham sekarang mengapa
siswa begitu terpaksa belajar. Siswa terpaksa karena gurunya juga terpaksa. Guru
terpaksa karena minim ilmunya seperti juga saya. Orang yang minim ilmu selalu
berlagak sok pintar dan merasa pintar. Karena belum tahu kekurangan dirinya. Belum
paham kelebihan orang-orang di luar dirinya. Saya menjadi berpikir akan lebih
baik jika diklat-diklat di hotel dialihkan ke sekolah. Dipilih sekolah yang
terbukti berhasil menjadikan siswanya kerasan karena pembelajaran yang
benar-benar enjoyfull dalam substansinya. Guru peserta diklat diminta mengamati
guru model semacam Ed Van Den Berg kemudian mereka mencontohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar