
Pengalaman
menjadi guru PNS saya awali sejak 1 Desember 1995 di SMPN 1 Pitu. Pada tahun itu sebenarnya saya juga dinyatakan lulus tes guru di jajaran Departemen Agama. Selama menunggu proses terbitnya SK saya dititipkan di MAN Ngawi. Saya dihadapkan dengan dua pilihan yang menyenangkan sekaligus membingungkan. Tidak mungkin saya pilih dua-duanya. Sebenarnya SK pengangkatan dari Depag terbit lebih dahulu, tetapi belum bisa saya bawa pulang. Saya belum bisa memenuhi satu syarat yang kala itu menjadi aturan tidak tertulis. Aturan itu cukup berat untuk kondisi saya saat itu. Saya bingung mau berbuat apa ? Di tengah kebingungan Allah SWT menunjukkan jalan. Tiga hari kemudian SK pengangkatan di SMPN 1 Pitu saya terima. Jadilah saya mengajar di SMP
pinggiran yang jauh dari modernitas. Awalnya bimbang namun lama-lama
kerasan juga. Segala kekurangan saya jadikan motivasi untuk maju. Tempatnya boleh
‘ndeso’ tetapi gurunya tak boleh ‘katrok’. Dari SMPN 1 Pitu inilah saya
diundang belasan kali pelatihan baik yang berskala regional maupun nasional. Bahkan
dari uji kompetensi guru tahun 2003 saya satu-satunya guru fisika dari Ngawi yang
berhak mengikuti ToT di Bandung dan Surabaya. Jadilah saya salah satu
instruktur fisika propinsi Jawa Timur. Beberapa kali saya melatih guru di
kabupaten dan propinsi. Pada tahun 2012 saya menjadi juara 1 olimpiade guru
fisika tingkat kabupaten. Saya semakin bersyukur ternyata saya terdampar di
tempat yang tepat. Di manapun tempatnya jika ingin maju jalan tetap terbuka. Beberapa
kali ada tawaran agar saya bersedia mutasi ke sekolah favorit namun tawaran itu
berat untuk saya penuhi. Dalam hati hanya ada satu, yaitu SMPN 1 Pitu. Sebuah
SMP yang banyak memberi. Apa yang saya beri terlalu kecil jika dibandingkan
dengan apa yang saya terima. Apalagi di situ saya dipertemukan dengan belahan
jiwa yang sekarang dipanggil ibu oleh kedua anak saya. Apa yang saya cari dalam
hidup sudah saya temukan. Jika sudah merasa tentram dan bahagia mau cari apa
lagi. Di sinilah cita-cita saya mulai tumbuh. Keinginan yang tidak ‘muluk-muluk’.
Saya hanya ingin jadi guru yang senang mengajar. Rasa senang harus tumbuh dari
hati yang paling dalam. Menjadi guru yang senang karena ingin bertemu dengan
siswa-siswanya. Menjadi guru yang senang karena ingin menyampaikan sesuatu yang
baru kepada siswa-siswanya. Saya tidak ingin seperti kebanyakan teman yang
menyesal menjadi guru. Diam-diam setiap hari saya mengamati teman-teman. Mereka
kurang menikmati dunianya sehingga mereka kurang senang mengajar. Mengajar hanya
sebuah rutinitas yang terpaksa mereka lakukan demi gaji semata. Guru yang terpaksa,
tentunya melahirkan siswa yang terpaksa juga. Siswa terpaksa mengikuti
pelajaran tanpa ketertarikan. Inilah yang tidak saya kehendaki. Saya ingin
siswa tertarik dan antusias dalam mengikuti pelajaran saya tanpa perasaan
terpaksa. Bahkan saya ingin mengubah rasa bosan menjadi kecanduan. Untuk kepentingan
ini harus saya akui bahwa saya hanya berbekal semangat. Ilmu yang saya miliki minim
sekali. Sekalipun saya sudah belasan kali mengikuti diklat tetapi rasanya belum
ada apa-apanya dibanding Ed Van Den Berg. Beliau seorang guru SMA Satya Wacana
Salatiga dan sekaligus dosen UKSW. Saya mengenal beliau saat masih kuliah dulu.
Beliau mengajar fisika begitu gamblangnya. Berbekal peralatan sederhana di
tangan beliau fisika menjadi menarik. Betul-betul mengajar fisika bukan
mengajar soal-soal. Konsep yang beliau ajarkan begitu gampang dipahami melalui
demonstrasi sederhana. Mengapa diklat-diklat yang saya ikuti selama ini tidak
satupun memberi contoh cara mengajar yang menyenangkan dalam arti yang
sesungguhnya. Bahkan sebagian besar mementingkan administrasi yang memberatkan.
Mengajar yang menyenangkan hanya judul saja dalam pelatihan tetapi isinya
membosankan. Mana bisa diterapkan di sekolah, pembelajaran menyenangkan hanya
sebuah nama tetapi sejatinya membosankan. Saya menjadi paham sekarang mengapa
siswa begitu terpaksa belajar. Siswa terpaksa karena gurunya juga terpaksa. Guru
terpaksa karena minim ilmunya seperti juga saya. Orang yang minim ilmu selalu
berlagak sok pintar dan merasa pintar. Karena belum tahu kekurangan dirinya. Belum
paham kelebihan orang-orang di luar dirinya. Saya menjadi berpikir akan lebih
baik jika diklat-diklat di hotel dialihkan ke sekolah. Dipilih sekolah yang
terbukti berhasil menjadikan siswanya kerasan karena pembelajaran yang
benar-benar enjoyfull dalam substansinya. Guru peserta diklat diminta mengamati
guru model semacam Ed Van Den Berg kemudian mereka mencontohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar